Oleh: Alfred B. Jogo Ena
Seringkali kita menerima seseorang atau sahabat kita dengan melihat dari mana asalnya, siapa orangtuanya, bagaimana keadaan keluarga mereka (kaya, miskin, menengah atas atau bawah, tuan atau hamba, orang bebas atau budak, hitam atau putih, dan lain-lain).
Semua itu tidaklah salah, karena bagaimana pun untuk membangun suatu persahabatan kita memang perlu tahu tentang dia. Tetapi itu bukanlah harga mati, artinya, kalau tidak dari golongan atau kriteria yang aku berikan, aku tidak mau bersahabat dengannya. Kalau tidak menguntungkan saya, untuk apa aku menjalin dan menjadi sahabatnya?
Menjadi seorang sahabat adalah menjadi seorang yang mampu mencintai dan dicintai, seorang yang mampu menghadirkan kebahagiaan bagi yang lain. Dan kita hanya bisa mencintai dan menerima yang lain apa adanya, kalau kita sendiri sudah bisa menerima diri kita apanya. Jangan takut untuk menerima diri apa adanya, sebab menjadi sahabat kita akan belajar untuk menerima yang lain apa adanya.
Seorang yang sungguh mencintai Anda (sebagaimana dia ingin dicintai) tidak menuntut sesuatu yang lebih dari Anda. Dia hanya bisa mencintai Anda sebagaimana Anda adanya. Sebab dengan menerima dirimu apa adanya diapun belajar menerima dirinya apa adanya. Seorang sahabat sejati, senantiasa belajar untuk membuka dirinya dan menerima kenyataan sahabatnya, termasuk segala kelebihan dan kekurangannya.
Menerima seorang sahabat ibarat Anda sedang memandang bayangan diri Anda di sebuah cermin. Apa pun bentuk yang ditampilkan dalam cermin, itulah diri Anda. Anda tidak bisa meragukan kalau itu bukan diri Anda. Itulah Anda apa adanya Anda. (abje)