Oleh: Alfred B. Jogo Ena
Let no family go into eternity without having
left their memoirs for their children, their
grandchildren, and their posterity.
– Spencer W. Kimbal
Akhir-akhir ini makin banyak orang menulis biografi baik secara pribadi maupun rombongan dalam bentuk antologi. Ada yang menulis sendiri (otobiografi) ada yang dituliskan oleh orang lain setelah proses wawancara dan pengumpulan bahan-bahan. Penulisan biografi ini bukan saja dimonopoli oleh para pejabat publik atau orang-orang hebat dalam aneka bidang pelayanan, tetapi mulai juga diminati oleh siapa saja yang merasa penting adanya buku semacam ini. Mengapa? Dan untuk apa?
Orang menulis biografi terdorong oleh keinginan agar kehadirannya di atas bumi ini ada jejak yang bisa ditinggalkan yang kemudian bisa dibaca, dikenang, dikagumi oleh anggota keluarganya: istri, suami, anak dan cucu bahkan sampai beberapa generasi ke depan. Mereka menulis untuk meninggalkan rasa bangga keturunan mereka akan garis silsilah hidup mereka.
Melalui memoar yang ditulis itu, seseorang ingin dikenal dan dikenang sekaligus menawarkan nilai-nilai perjuangan yang mewarnai hidupnya. Keinginan untuk dikenal dan dikenang itu bukan terutama untuk membanggakan dirinya sendiri, tetapi terutama untuk menawarkan cara pandang, cara berjuang, cara menghadapi dan menjalani hidupnya. Supaya dari biografi itu orang menemukan mutiara pengalaman yang bisa menjadi referensi atau bahkan alternatif cara berpikir dan bertindak yang bisa dikopi dan diterapkan orang yang membacanya dalam hidupnya.
Harus kita akui, pandemi covid yang melanda seluruh dunia sejak penghujung tahun 2019 hingga kini telah memicu cara berpikir dan bertindak baru bagi kita semua, termasuk dalam hal menulis. Ada banyak tema yang ditulis dengan tujuan untuk memotivasi dan membangkitkan harapan orang lain manakala sedang terjebak juga dalam pengalaman penderitaan akibat covid. Demikian juga dengan penulis biografi, melalui seseorang ingin menawarkan silsilah cara berpikir dan beradanya kepada generasi yang akan datang, terutama yang segaris keturunan bersama dengannya. Si penulis hendak berusaha meninggalkan rasa kagum dan bangga kepada para keturunan akan arti kehadiran dirinya di tengah dunia ini.
Bisa kita simpulkan bahwa dengan menulis biografinya, si penulis tidak mau meninggalkan dunia ini tanpa meninggalkan sesuatu yang bisa bertahan mengatasi zaman kepada garis keturunannya seperti yang dikatakan oleh Spencer W. Kimbal yang saya kutipkan di awal tulisan ini. Menulis biografi adalah mewariskan silsilah baik biologis maupun ideologis. Secara biologis untuk orang-orang yang termasuk dalam lingkaran keluarga, sedangkan secara ideologis itu mencakup siapa saja dan di mana saja yang mengagumi tulisannya karena memberi isi pada kehidupan pembacanya.
Mari kita menulis tentang diri dan lestarikan kepada orang-orang tercinta kita.