Oleh: Alfred B. Jogo Ena

#pentigraf; #fiksimini; #cerpen

Gawai milik Romo Pedro bergetar. Ia biarkan saja. Tidak enak makan bersama sambil membuka gawai. Lagipula ada kesepakatan bersama untuk tidak membawa gawai saat di meja makan. Ia nampak tergesa-gesa menyantap nasi rendang kiriman dari umat yang dapat giliran. Romo senior yang sudah mulai banyak makan larangan (apa-apa dilarang karena kesehatan) hanya menikmati sup kentang yang diblender.

Seusai sarapan Romo Pedro lanjut membaca koran pagi. Kekerasan rumah tangga oleh seorang artis dan kasus Kanjuruhan masih menjadi berita utama koran-koran ibukota. Saling lempar tanggung jawab masih menjadi ciri khas para pelaku yang terlibat. Entah sampai kapan akan muncul seorang pemimpin yang sungguh berani tampil di depan publik mengaku bertanggung jawab seperti dulu mereka berjanji kala memperebutkan jabatan-jabatan itu. Ia ikutan emosi membaca berita yang itu-itu saja. Gawainya kembali bergetar. Romo, aku mau mengaku dosa. Demikian pesan yang dikirim oleh Indri, sang umat yang kirim nasi rendang tadi.

Di ruang pengakuan. Romo, tolong dengarkan jeritan hatiku. Aku tak bisa hidup tanpamu di sisiku. Aku jatuh cinta padamu. Demikianlah dosa-dosaku pada Allah, sesama, keluargaku dan padamu. Mari kita memulai dosa yang baru. Indri menangis di ruang pengakuan. Sejak peristiwa ruang pengakuan itu, Romo Pedro menghilang dari pastoran. Begitu juga dengan Indri menghilang dari hadapan suami dan ketiga anaknya. “Romo diculik oleh istri orang,” demikian gossip yang ramai diperbincangkan di paroki itu.

Spread the love