Oleh: Alfred B. Jogo Ena
“Anyone who believes you can’t change history
has never tried to write his memoirs.”
David Ben-Gurion
Kemarin kita sudah membaca tentang Menulis Untuk Kesembuhan. Dan setiap orang memiliki caranya sendiri bagaimana dia menulis untuk menyembuhkan luka batinnya. Ada yang menulis doa, ada yang menulis puisi, ada yang menulis cerpen, ada yang menulis umpatan-umpatan luapan isi hati dalam diary pribadinya. Semua itu hanya cara kita berusaha untuk keluar dari luka-luka batin tanpa harus mengeluarkan uang jutaan untuk membayar dokter, psikiater, rohaniwan dan aneka kesenangan sesaat sebagai pelarian.
Kali ini saya mengajak kita untuk menukik lebih jauh dari upaya-upaya menulis yang sudah dilakukan. Setiap penulis bisa menemukan kesesuaian dan gaya penulisan yang cocok. Tetapi itu tidak langsung jadi. Butuh proses yang berulang. Proses belajar lagi dan lagi sampai kita merasa “enjoy” dengan gaya penulisan kita. Seorang penyair tidak ujug-ujug bisa menulis puisi. Seorang cerpenis, kolumnis, esais juga tidak ujug-ujug bisa. Mereka telah melewati proses dan jam terbang yang terbilang tinggi (tidak harus setinggi pesawat di atas sekian ribu kaki dari permukaan laut sih).
Konkretisasi Imajinasi

Kini, mari kita masuk pada apa yang menjadi tujuan saya menulis judul di atas: Menulis itu Proses Kreatif. Sebuah proses kreatif selalu berjabatan erat dengan imajinasi. Karena dari imajinasi seseorang berusaha menuangkan apa yang ada isi kepalanya ke dalam kata-kata yang konkret supaya bisa diketahui dan dibaca banyak orang.
Sebagai suatu proses kreatif atau mewujudkan imajinasi maka menulis itu perlu ditunjang atau didukung oleh proses-proses ini: membaca dan membaca lagi, meresensi, meneliti dan mencari bahan-bahan pendukung, mendiskusikan tema tertentu dengan teman lain untuk mendapatkan masukan baru, membuat draf awal, menuliskan draf final, editing dan finishing. Itulah proses kreatif. Tidak sekali jadi karena imajinasi itu selalu berkelindan dari A sampai Z, jadi perlu kita kita menjadi lebih tertata rapi.
Seseorang yang sedang menyiapkan sebuah tema tulisan perlu membaca banyak hal lain di luar isi kepalanya. Perlu mengamati banyak objek yang berkaitan dengan tema, perlu membaca tulisan-tulisan yang senada, perlu mencari pemahaman baru dengan berdiskusi secara bibliotik maupun secara langsung dengan orang tertentu supaya bisa mendapatkan umpan balik yang semakin mempertajam “penglihatan dan intuisi” penulisan kita tentang tema tertentu.
Sebagai sebuah analogi saya gambarkan tentang pembuatan jalan. Jalanan (tol) yang tampak indah dan memperlancar hubungan antarkota, semuanya diawali dengan proses yang berdarah-darah bahkan mungkin korban nyawa. Ada korban dan air mata, ada duka dan kehilangan yang menyertainya. Berapa banyak kerugian material ketika orang membuat jalan? Berapa banyak korban nyawa para tukangnya? Hal yang sama juga berlaku dengan tulisan (meski tidak harus kehilangan nyawa). Sebuah tulisan yang indah seperti cerpen atau novel atau yang bermutu dan edukatif seperti opini, buku-buku pendidikan, semua itu berawal dari proses.
Proses yang utama adalah MEMULAI proses MENULIS itu sendiri. Tidak akan ada jalan yang indah jika tidak pernah dikerjakan. Tidak akan pernah ada tulisan yang bagus tanpa pernah untuk mulai menulisnya. Jangan pernah menunggu, karena ide dan inspirasi dari otak kita tidak pernah menunggu kita. Jika dibiarkan akan hilang tak berjejak. Dan…imajinasi yang mahal dan selintas tak pernah mampir lagi dalam benak kita, sudah menguap tertelan waktu yang berlalu. Jangan sampai kita termasuk orang yang dimaksudkan oleh David Ben-Gurion bahwa “Siapa pun yang percaya bahwa Anda tidak bisa mengubah sejarah belum pernah menulis kisahnya sendiri.” Jangan sampai kita menjadi orang yang suka mencela karya orang lain (bukan kritikus produktif) tetapi tidak pernah sekalipun pernah menulis. Karena kita membiarkan imajinasi dan ide kita menguap dalam celaan.