Renungan untuk Hari Minggu 6 November 2022

Oleh: Alfred B. Jogo Ena

Bacaan Injil Hari Minggu Biasa ke-32 dari Lukas 20:27-38. Pesan utama dari bacaan ini adalah tentang kepercayaan akan kehidupan setelah kematian. Kita tahu Orang Saduki tidak percaya kehidupan setelah kematian. Bagi mereka setelah kematian raga ya selesai. Tidak ada lagi jiwa yang masih hidup dalam keabadian bersama Allah. Yesus tidak mau bercapai-capai meladeni pertanyaan mereka karena mereka tidak percaya akan kehidupan setelah kematian. Mereka hanya mau menjebak dan mempermalukan Yesus di depan banyak orang.

Bagi kita orang beriman Kristiani, sudah jelas dan final bahwa setelah kematian ada pengharapan akan Allah yang hidup dan menghidupkan. Dan kita tidak perlu mendalami lagi di sini karena kita sudah sering mendengar homili atau khotbah dari para romo atau ahli kitab suci. Kita sudah katam tentang itu.

Kali ini fokus permenungan kita adalah tentang sikap orang Saduki (bisa saja mewakili sikap manusia pada umumnya) yang terlalu fokus pada hal-hal lahiriah, hal-hal yang bisa diwariskan secara fisik turun temurun. Seringkali kita terpesona pada hal-hal indah dan menggiurkan secara jasmani dan mengabaikan hal-hal yang bersifat spiritual, yang berbau roh yang tidak kasat mata. Kawin mawin seperti contoh orang Saduki melulu soal fisik sehingga mereka bertanya kalau sudah mati siapa yang berhak?

Pertanyaan yang nampak sepele ini memperlihatkan kualitas pembicara/penanyanya. Tak ketinggalan dengan kita, kadang lebih sibuk dengan asesoris fisik yang glamour, dengan tampilan kulit yang kinclong setelah menghabiskan banyak biaya hanya demi “terlihat” enak dan sedap di mata orang lain. Tapi lupa memoles hal-hal batiniah, masih sulit mengontrol emosi, dendam dan dengki pada orang lain. Fiski kita berlabur warna warni yang indah, tetapi kedalaman kita keropos, iman kita rapuh dan mudah goyah oleh iming-imingi dunia yang “enak dan lezat” di mata dan rasa.

Singkatnya, kita lebih mengutamakan kemasan, packing luarnya daripada isi (hati nurani dan iman) itu sendiri. Apakah kita akan berposisi seperti orang Saduki yang tidak percaya akan kehidupan setelah kematian? Bukankah dengan begitu iman kita pada Kristus sang Kehidupan, Sang Sabda Allah yang hidup menjadi sia-sia?

Spread the love