Oleh: Alfred B. Jogo Ena
Kritik dalam dunia tulis menulis selalu menjejakkan dua hal ini pada penulis: puas dan bangga karena kritik itu disampaikan oleh orang yang berkompeten (sehingga tidak asal kritik). Kritik semacam itu semakin memantik kreativitasnya untuk menghasilkan karya lanjutan. Kedua, masa bodoh dengan kritik asal bunyi dari orang-orang yang memang hanya pandai mencela dan melihat kelemahan orang lain, tanpa mampu menulis sedikitpun, yang hanya mencela pribadi penulis, bukan karya penulis (termasuk latar belakang sebuah tulisan itu lahir). Kelompok kedua ini lebih dikategorikan sebagai para pencemooh yang memang tidak pernah bisa menulis, selain “melenggangkan” omongan yang sama sekali tidak solutif. Kritik mereka berubah menjadi celaan dan penghinaan pada pribadi penulis, bukan pada cara berpikir dan cara penulis menuangkan pikirannya.
Saya pribadi lebih cenderung masa bodoh alias peduli amat )loh Amat saja tidak peduli kok), karena penulis harus punya prinsip untuk apa dan bagaimana dia menulis, jangan mudah diruntuhkan oleh kritikan yang kadang tidak membangun, tidak mudah gugur oleh cemoohan yang tanpa dasar argumentasi yang kuat selain luapan perasaan (tukang kritik yang suka baper alias bawa perasaan dan menjadi tidak rasional).
Dalam karya “ke-editor-an saya yang hampir dua dekade dari umur saya, kadang saya dengan “lantang” menolak atau bahkan membuang tulisan yang dianggap sampah, atau dengan “keji” mencoret semuanya..itu bukan ditujukan kepada pribadi penulis, tetapi kepada cara berpikir dan cara penulis yang “belum” menjadi dirinya sendiri…dan biasanya kalau penulis yang rendah hati, dia akan belajar dan “lenting” dua atau tiga langkah ke arah yang makin positif. Tentu saja saya tidak akan asa bertindak keji tanpa memberikan solusi-solusi yang bisa dikembangkan oleh penulis untuk menyempurnakan tulisannya.
Seorang kritikus yang baik akan selalu berusaha membantu sang penulis untuk lebih “sempurna” (meski sesungguhnya yang sempurna hanyalah Allah dan kematian) dalam menuliskan isi pikiran dan isi hatinya. Seorang kritikus yang baik selalu memiliki alternatif: yang ini kurang di bagian ini…seharusnya begini dan begitu…Seorang kritikus yang baik itu bisa memberi umpan bukan umpatan. Cara berpikir sang kritikus semestinya bisa mengumpan yang dikritik untuk mencari solusi yang tepat, bukan malah tersudut secara emosional karena diumpat-umpat pribadinya oleh si tukang kritikus.
Kritikus yang baik akan proposional dan objektif dalam menemukan dan mengetahui tiga hal ini dalam sebuah tulisan: a) kekurangan atau kelemahan. b) kelebihan karyanya. dan c) Mengetahui masalah-masalah yang mungkin dijadikan tema tulisannya. (bdk Rene Wellek). Sejalan dengan pendapat Rene Wellek ini, seorang editor, seorang kurator bisa bertindak sebagai kritikus yang bisa menjadi teman diskusi bagi dan bersama penulis untuk menemukan aneka kemungkinan bagi penyempurnaan sebuah tulisan.
Seorang penulis (entah yang masih pemula maupun yang jam terbangnya sudah di atas 30 ribu kaki dari permukaan laut) tetap perlu memiliki kerendahan hati untuk menerima masukan-masukan dari para kritikus, tidak mudah “mutung” alias kapok dan harus tetap tegar dan punya pendirian. Ia tetap bisa memberikan “tangkisan” dari sisi lain yang mungkin tidak dilihat oleh si tukang kritik. Bahkan kalau boleh ia mampu “menjebak dan menggiring” sang kritikus untuk tunduk pada argumentasinya.
Penulis harus mesti tetap otonom dengan cara berpikir dan cara mengungkapkan buah pikirannya. Tidak mudah ikut arus dan lemah di hadapan kritikus, apalagi dari kelompok asal bunyi tanpa solusi.