(Catatan Tentang Hari Ayah)
Oleh Alfred B. Jogo Ena
Fisik Boleh Terpisah, Roh Selalu Bersama
Bagi anak yang sejak kecil hidup bersama kedua orang tua, pengalaman kehilangan baik bapak/ayah maupun mama/ibu sama-sama bikin terguncang, apalagi jika kehilangan itu terasa sangat mendadak. Tanpa kata perpisahan. Tanpa surat wasiat. Tanpa tanda-tanda yang bisa menjelaskan bahwa itulah saatnya orang yang sangat menyayangi dan kita sayangi pergi selamanya.
Kami sekeluarga merasa kepergian mama yang tiba-tiba di awal Februari 2021 setelah saya dinyatakan sembuh dari covid (apalagi saat itu covid varian delta sedang mengguncang rasa kita secara mendalam. Banyak orang kehilangan orang-orang terkasih). Bagaimana tidak membuat kami terguncang? Sepanjang hari mama tampak sehat-sehat saja, lalu malam menjelang dini hari mengeluh sesak nafas. Dan setengah jam kemudian mama pergi selamanya. Tangis pilu pecah dari adik bungsu dan adik nomor dua yang ada di rumah. Sedangkan saya nomor satu ada di Yogyakarta, adik laki-laki nomor tiga di Karanganyar, Jateng, adik perempuan nomor empat di Surabaya dan adik nomor lima di Mataram. Kami hanya bisa saling bertangis melalui sambungan video call. Tak ada yang bisa kami lakukan. Mau pulang prosedurnya sangat ribet dan tentu saja tidak mungkin jenazah mama akan disemayamkan selama itu menunggu kedatangan kami.
Lain ceritanya ketika Bapak meninggal. Saat itu, tanggal 22 Mei 2007. Saya mendapatkan kabar dari adik nomor dua kalau bapak sudah sakit keras. Bicaranya tidak terdengar lagi. Tak ada suara yang keluar, meski tampak ia berteriak. Saya dari Yogyakarta, adik laki yang di Karanganyar bersama istri dan anak pertamanya sudah memutuskan untuk pulang. Mereka tiba dua hari lebih dulu dari saya. Karena tidak mendapatkan tiket pesawat dari Surabaya ke Ende, saya lalu memutuskan untuk naik bis Surabaya-Labuan Bajo. Tanggal 27 Mei 2007 saya baru tiba di Lekogoko, Aimere, Ngada.
Setelah kurang lebih 5 hari di rumah dan melihat kondisi Bapak yang mulai sehat karena bahagia berkumpul bersama kami (kecuali adik nomor empat di Surabaya yang sedang hamil anak kedua) kami berencana untuk kembali ke tempat kami mencari kehidupan. Rupanya rencana kepulangan kami dtanggapi oleh Bapak dengan cara lain. Tanggal 31 Mei sore Bapak mulai gelisah. Tapi tak ada sesuatu pun yang dikatakan atau dituliskan kepada kami. Pukul 22.00 diantar ke puskesmas Aimere. Setelah melewati perjuangan yang panjang, pukul 01.45 Bapak pergi selamanya dalam pelukan saya yang terus membisikkan doa Salam Maria. Ketika perawat menyatakan Bapak sudah pergi, Mama langsung menangis, sedangkan saya terus saja memeluk sambil meminta ijin melepaskan cincin di jari manisnya. Cincin itu saya kenakan hingga sekarang.
Memang Bapak dan Mama sudah pergi secara fisik. Bapak dimakamkan di samping rumah. Sedangkan mama dimakamkan di pemakaman desa. Tetapi cinta mereka akan selalu abadi bagi kami anak dan cucu. Itulah kenyataan kehilangan dua induk utama tempat asal mula kami berenam yang kini sudah tersebar ke aneka tempat. Dari enam kini berkembang lagi. Begitulah seterusnya siklus cinta keluarga kita.
Hari Ayah: Hari Mengenang Keteladanan
Hari ini, 12 November kita merayakan Hari Ayah Nasional. Ada Hari Ibu, maka ada Hari Ayah. Begitulah kedua induk cinta itu mestinya dirayakan sepaket. Tetapi dirayakan secara berbeda. Tidak mengapa, yang penting keduanya tetap mendapatkan perhatian. Secara singkat saya mencoba mengkompilasi dari berbagai sumber asal usul adanya Hari Ayah baik Internasional maupun Nasional.
Tahukah kita kapan tepatnya Hari Ayah Internasional/Sedunia? Hari Ayah Sedunia dirayakan setiap Minggu Ketiga Juni. Tanggalnya bisa berubah-ubah setiap tahun. Untuk pertama kalinya Hari Ayah dirayakan pada 19 Juni 1910 bertepatan dengan hari lahirnya ayah dari Sonora Smart Dodd dari Spokane, Washington. Sonora merupakan orang pertama yang mengusulkan adanya Hari Ayah untuk mengenang ayahnya yang seorang veteran perang sipil. Berkat usaha Sonoa maka pada 1924, Presiden AS kala itu, Calvin Coolidge memberikan dukungannya. Pada tahun 1966, Presiden Lyndon B. Johnson mengeluarkan pengumuman pertama yang menandai hari Ayah tersebut. Kemudian ada 1972, Presiden Richard Nixon menetapkan hari Minggu ketiga bulan Juni sebagai Hari Ayah. Sejak saat itulah seluruh dunia mulai merayakan hari Ayah Sedunia.
Kapan Hari Ayah Nasional? Hari Ayah secara resmi dideklarasikan oleh Presiden SBY kala itu, tepatnya pada 12 November 2006. Sebelumnya pada tahun 2004, Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP) di Solo Jawa Tengah menggelar dan mendesak adanya Hari Ayah. Berkat perjuangan PPIP inilah maka kini setiap tanggal 12 November kita memperingati Hari Ayah Nasional.
Peringatan Hari Ayah (juga hari apapun itu) pertama-tama dilakukan untuk merayakan syukur dan terima kasih atas peran seorang ayah dalam membentuk dan mendidik anak di dalam keluarga. Ada banyak ayah yang telah berjuang menjadi orang tua tunggal dalam membesarkan anak-anaknya. Begitu juga sebaliknya ada banyak Ibu yang telah berjuang menjadi orang tua tunggal bagi anak-anaknya. Hari peringatan semacam ini hendaknya dimaknai sebagai kesempatan kita untuk “membeluk” kembali dalam memori dan nostalgia cinta dan teladan seorang ayah bagi anak-anak di dalam keluarga. Dari seorang ayah, seorang anak belajar artinya bekerja keras dan tanggung jawab.
Selamat Hari Ayah untuk para Bapak. Bagi yang sudah meninggal, beristirahatlah dalam damai dan keabadian. Bagi yang masih hidup, teruslah menjadi teladan dan semangat.
Ayah, Bapak, kami mencintai dan merindukanmu.