Oleh: Alfred B. Jogo Ena
4. Mengampuni
Pengampunan merupakan faktor yang sangat kuat dan penting dalam menjaga relasi yang sehat. Pengampunan sesungguhnya berarti kita berkehendak untuk melupakan pengalaman yang menyakitkan. Ketika kita melakukan kesalahan, ingatlah bahwa orang lain pun akan mengampuni dan melupakan kesalahan kita.
Saya pernah memiliki pengalaman menyakitkan soal relasi persahabatan ini. Saat SMP saya pernah memiliki beberapa sahabat “nakal” bersama dalam belajar kelompok, dalam urusan “kepala batu” alias melawan guru tipis-tipis untuk tidak membuat tugas, termasuk sedikit kelakar tentang gaya ngajar guru. Rupanya dalam kelompok itu ada yang membelot dan melapor ke guru yang jadi bahan guyonan saya. Akibatnya setiap kali pelajaran guru itu, saya selalu diberi hukuman bahkan dilarang untuk mengikuti pelajarannya. Karena tidak tahan diperlakukan seperti itu, saya lalu tidak mau berangkat ke sekolah. Dan meminta kepada Bapak saya yang kebetulan wakil kepala sekolah di tempat saya sekolah bahwa saya mau pindah sekolah saja. Saya benar-benar mogok sehingga ketua Yayasan ketika itu, Om Guru Henderik (alm) ikut merayu saya agar jangan pindah sekolah. Apalagi saya sudah kelas dua SMP.
Lalu entah bagaimana akhirnya si guru itu melunak dan dia meminta saya sekolah kembali. Tetapi hati sudah terlanjur terluka. Tapi saya tidak dendam, cuma sedikit trauma. Saya mencatat dalam memori siapa saja yang jadi “pengkhianat” itu. Hingga kini masih ingat mereka, tapi tak ada dendam dan sakit lagi. Mengapa saya bisa dengan cepat melupakan pengalaman luka itu? Pertama saya tahu itu memang salah saya karena meremehkan guru saya, meski hanya guyonan di antara teman (yang diam-diam mencari muka dan lapor). Kedua, saya jadi mengerti bahwa tidak semua hal kita umbar kepada lawan bicara sekalipun dia kita anggap sahabat. Tidak semua sahabat bisa seia sekata termasuk menjaga rahasia kelompok. Ketiga saya melawan perlakuan buruk itu dengan prestasi. Dan itu meneguhkan saya untuk melupakan sakit. Tanpa saya harus mengucapkan bahwa saya mengampuni mereka, saya berdamai dengan diri sendiri, koreksi diri dan menerima dan mengakui apa yang mereka lakukan sebagai jalan “pelecutan” diri untuk semakin berprestasi. Apalagi setelah tamat dari sana, saya melanjutkan sekolah ke SMA Seminari, ya saya perlu berdamai dengan diri agar bisa melangkah dengan riang dan ringan.
Mengampuni tidak semata-mata soal kata-kata saya mengampunimu saudaraku, tetapi soal pengakuan pada diri bahwa jika saya mengaku salah dan meminta maaf. Karena dengan mengakui itu, pintu pengampunan pada diri sudah terbuka, sehingga pada orang lain akan lebih mudah lagi. Lebih mudah bukan berarti bahwa mengampuni itu suatu tindakan yang gampang seperti membalik telapak tangan. Bukan itu. Lebih mudah artinya kita sudah mengawalinya dari diri sendiri.
Pengalaman mengampuni yang selalu indah dikenang dan diceritakan berulang-ulang hampir sepanjang usia gereja yakni kisah tentang anak yang hilang, seperti yang ditulis oleh Lukas pengarang Injil. Allah itu Bapa, Ayah yang maharahim, yang senantiasa membuka tanganNya untuk menyambut kepulangan anakNya. Kepulangan adalah jalan pertobatan. Sedang tangan yang selalu terbuka menyambut adalah pengampunan itu sendiri.
Untuk teman-temanku di masa nakal (sebagai remaja muda) di bawah Kaki Gunung Inerie, semoga kalian sehat-sehat saja. Kangen kalian la…