(Catatan tentang Hari Guru)

Oleh: Alfred B. Jogo Ena

Bukan Soal Nostalgia

Gajah mati meninggalkan gading. Manusia mati meninggalkan nama dan kenangan. Itulah yang kurasakan ketika bapak kami akan dihormati secara kedinasan di saat terakhir menjelang masuk ke dalam liang lahat. Seorang guru (apalagi hanya guru honorer di kampung yang jauh dari ibukota) tak pernah mengharapkan bahwa pengabdiannya akan dikenang secara fenomenal dan momumental. Ia hanya tahu memberi dan terus memberi dirinya hingga anak didiknya menjadi lebih tahu dari tidak tahu, menjadi lebih pintar dari tidak pintar. Guru yang baik adalah guru yang mampu membantu para muridnya menjadi dirinya sendiri, murid yang mampu bertanggungjawab dan memiliki kemandirian. Sehingga dengan demikian penghormatan secara kedinasan memiliki nilainya. Dan sudah seharusnya demikian. Para guru yang dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa di manapun pasti akan bahagia (meski mereka tak bisa lagi merasakannya karena sudah tak bernyawa lagi), paling kurang melalui kaum keluarga yang ditinggalkan.

Itulah sepenggal catatan kenangan ketika kami kehilangan Bapak. Dia seorang guru sederhana, guru honorer dengan gaji yang sangat jauh dari layak. Meski demikian ia tak pernah mengeluh apalagi menuntut banyak, apalagi mengajar dengan asal-asalan karena imbalan yang diterimanya juga seperti asal-asalan. Bagi para siswa generasi sebelum tahun 1990-an di mana saja tahu tentang sosok guru. Mereka bahkan lebih keras dari orang tua dalam mendidik murid. Mereka tak segan-segan memakai tangan “besi” agar para muridnya disiplin dalam belajar dan menjalankan aturan kehidupan. Tidak sedikit murid yang betisnya luka terkena rotan atau mistar dari guru. Tak ada protes dari orang tua. Tak ada laporan ke polisi seperti yang marak terjadi dewasa ini. Orang tua malah bersyukur bahwa anaknya mendapatkan “perhatian” lebih dari guru. Bagi orang tua, para tidak hanya bertindak sebagai pengajar yang menularkan ilmu pengetahuan, tetapi juga pendidik yang membentuk seorang siswa menjadi dirinya sendiri, menjadi seseorang yang lebih manusiawi.

Apa yang terjadi di kemudian hari? Para murid yang sering kena rotan ini justru di kemudian hari menjadi pribadi-pribadi yang tangguh, kreatif, disiplin dan bertanggung jawab, tidak mudah menyerah, dan simpatik. Mereka merasa bersyukur karena dari gurulah mereka mengalami penanaman nilai-nilai kehidupan. Mereka mendapatkan keistimewaan karena boleh mengalaminya selama di bangku sekolah. Orang tua yang sebagian waktu mereka berada di kebun untuk mencari nafkah merasa terbantu oleh kerelaan para guru menjadi pendidik bagi anak-anak mereka. Ini bukan cuma tentang nostalgia akan masa lalu yang mungkin tak terulang kembali. Ini tentang peran ganda guru yang mungkin jarang dilihat atau disyukuri para orang tua.

***

Bukan Soal Angka dan Proyek

Memang, anggaran pendidikan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, yaitu sebesar 20 persen atau mencapai Rp542,8 triliun. Tetapi apakah anggaran ini terserap secara merata ke seluruh sekolah bukan saja sekolah-sekolah negeri? Apakah anggaran ini termasuk memperhatikan nasib guru-guru honorer yang tersebar di seluruh nusantara? Apakah ada terobosan dari menteri pendidikan agar anggaran pendidikan 20% ikut meringankan beban biaya guru di sekolah-sekolah swasta? Apakah para anggota dewan memperjuangkan tersalurnya Program Indonesia Pintar (PIP) ke dapilnya dan menyentuh semua masyarakat (tidak saja pemilihnya). Selain soal angka-angka anggaran, apakah kementerian pendidikan masih akan terus melakukan uji coba mengenai kurikulum pendidikan?

Selama 18 tahun terakhir, Indonesia sudah memberlakukan empat kali pergantian kurikulum. Pada tahun 2004 ada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan penekanan pada kompentensi siswa baik individu maupun bersama dalam kelas. Belum berjalan dua tahun sudah ganti lagi dengan Kurikulum 2006 yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pada kurikulum ini, guru dituntut mampu mengembangkan silbus dan penilaian sesuai kondisi sekolah dan daerah. Setelah bertahan hampir tujuh tahun muncul lagi Kurikulum 2013 yang menekankan tiga aspek penilaian: aspek pengetahuan, aspek keterampilan dan aspek sikap dan perilaku. Materi pembelajaran mulai dipadatkan dengan fokus (menurut saya) “menjejalkan semua” pengetahuan kepada siswa. Biarkan siswa mengetahui sebanyak-banyaknya. Materi yang seharusnya dipelajari setelah tiga tahun pertama, justru mulai mulai diajarkan sejak kelas satu SD. Ketika guru dan siswa mulai terbiasa dengan Kurikulum 2013, muncul lagi Kurikulum Merdeka 2022 yang berfokus pada materi esensial dan pengembangan karakter dan kompetensi peserta didik. Apakah setelah ini akan ada lagi proyek kurikulum? Sampai kapan guru-guru dan para murid akan terus dijadikan proyek percobaan kurikulum? Sampai kapan bangsa ini menetapkan kurikulum yang benar-benar pro guru dan siswa, bukan pro proyek?

Memang, tak ada istilah berhenti belajar bagi para guru. Mereka akan terus belajar baik menyangkut kompetensi dan keterampilan dirinya sebagai seorang pengajar dan pendidik. Pada pundak pada gurulah kita meletakkan masa depan bangsa ini. Merekalah yang akan membentuk pribadi-pribadi yang cerdas dan berintegritas, prbadi yang bertanggung jawab dan penuh wawasan.

Negara perlu hadir dan bersikap lebih adil bagi para guru (terutama para guru honorer yang menerima gaji ala kadarnya). Negara tidak perlu terlalu sibuk memperhatikan anggota dewan yang sudah gaji dan tunjangannya besar, masih diberi pensiunan padahal baru bekerja lima tahun di dewan perwakilan. Ini menjadi tidak adil dengan apa yang dialami dan diterima oleh guru, terutama mereka yang nasibnya belum jelas apakah akan selamanya jadi honorer, guru kontrak seumur hidup?

Akhirnya, selamat Hari Guru. Jasamu tidak hanya untuk mengajar anak-anak menjadi pintar, tetapi mendidik mereka agar berkarakter dan Pancasilais.

Untukmu para guruku sejak dari SDK Deru, Leguderu, Boawae, Nagekeo, SDK dan SMP Malapedho, Inerie, Ngada, SMA Seminari Todabelu Mataloko, Fakultas Teologi Kentungan, Yogyakarta. Bagi yang sudah meninggal: Beristirahatlah dalam damai.

Untukmu Bapak dan Mama tercinta, guru cinta kami dalam keluarga.

Spread the love