#Cerpentigaparagraf
#pentigraf
Oleh: Alfred B. Jogo Ena
Piring-piring di atas meja berhamburan ke lantai. Pecah berantakan mengikuti irama dentingan gelas pecah yang ikut ambruk dari meja. Makanan berserakan. Minuman membanjiri lantai dan baju-baju kami yang juga ikut terpelanting. “Gempa-gempa, keluar-keluar segera…” teriak teman-teman lain dari luar ruangan makan. Dalam hitungan detik, tembok-tembok gedung tempat kerja kami menganga seketika meninggalkan duka dan lara berkepanjangan.
Berita gempa dahsyat siang itu segera tersebar dari WA ke WA. Televisi dan media lokal dan nasional ramai memberitakannya. Juga orang-orang yang sibuk demi konten berfoto sambil tertawa ria di atas puing-puing rerentuhan rumah dan gedung. Tak ketinggalan berita-berita hoax yang menyertainya. Ada orang yang mulai bersaksi tentang kehebatan rumah ibadahnya. Bala bantuan mengalir bak air bah ke daerah-daerah terdampak. Tidak ketinggalan di tempatku. Aku dan tetanggaku menempati tenda dengan terpal seadanya, padahal di luar tenda sedang bertumpuk tenda-tenda bantuan dengan label kelompok yang bertanggung jawab atas bantuan itu.
Setelah empat berlalu, dampak ikutan dari gempa itu mulai di rasakan di tenda-tenda. Banyak orang tua dan anak yang mulai terserang sakit. Tak ada satu pun bala bantuan yang bisa masuk ke daerahnya. Karena di gerbang desa berdiri pemuda-pemuda bermuka garang sembari membawa spanduk, “Biarkan Tuhan kami yang datang menolong, selain itu silakan pulang.” Ini sungguh kanker stadium terakhir yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan bedah otak. Kanker jenis ini hanya bisa dilenyapkan ke dalam bumi oleh gempa.