Sebuah Catatan tentang Romantisme Reuni

Oleh: Alfred B. Jogo Ena

(Sebagian peserta reuni akbar PBMN 19-20 November 2022 di Wisma Pojok, Yogyakarta)

Rencana Lama Berseri Kembali

Sudah sebulan berlalu, tetapi gema dan semangat itu terus terasa hingga hari ini. Canda dan tawa, ejekan dan guyonan di ruang pertemuan, di ruang makan atau di ruang ngobrol lainnya masih terngiang-ngiang. Ada rasa rindu untuk segera reuni lagi, agar suasana itu tidak lekas hilang begitu saja.

Itulah pengalaman reuni akbar se-nusantara untuk para anggota Perseduluran Brayat Minulya Nusantara (PBMN) yang telah berlangsung pada 19-20 November lalu di Wisma Pojok Indah, Jl Kubus, Pojok, Condongcatur, Depok Sleman.

Reuni akbar ini sedianya akan dilakukan pada tahun 2020 lalu di Omah Petruk, tetapi berhubung sedang dalam situasi pandemi covid-19, maka reuninya tidak jadi dilaksanakan. Baru bisa terwujud dua tahun kemudian meski dengan tetap menjalankan prokes sebagai sarat utama dalam masa pandemi.

[Namanya sedulur, kalau kumpul ya makan-makan haha (dari yang topi merah: Mas Dwiko, Mas Harya, Mas Suluh, Mas Mardi, Mas Jarot, Mas Krist, Alfred (saya), Mas Joao, Mas Ismul (korwil DIY), Mas Giri, Mas Siswanto dan istri)]

Mengapa harus ada reuni segala sih? Reuni hanyalah sebuah cara untuk mengumpulkan balung-balung pisah dari para braminers lintas angkatan. Ya, reuni hanyalah sarana untuk kumpul-kumpul, temu kangen bagi mereka yang pernah hidup bersama dalam satu naungan spiritualitas entah hanya mencicipi tahun postulan (Seminari Berthinianum), frater novis (Novisiat di Wisma Kana atau Wisma Bethlehem Salatiga), frater skolastikat (Filsafat dan teologi di Wisma Nasareth, sekarang Biara Nasareth) bahkan ada yang sudah menjadi imam. Spiritualitas Keluarga Kuduslah yang telah mendorong para anggota perseduluran ini untuk terus berusaha saling bersua, saling mendukung sebagai sebuah keluarga.

Tidak bisa dipungkiri bahwa semangat menyatukan “balung-balung” pisah untuk seluruh anggota beserta seluruh anggotanya selalu menumbuhkan rasa rindu untuk bersua muka, bertatap kata, berbagi kisah dan menerima cinta. Pandemi boleh membelenggu, ruang dan waktu boleh terbatas, tetapi semangat untuk bertemu dan berbagi kata sembari saling menggenggam jemari untuk bertanya kabar tak bisa dibatasi lalu mengerucutlah gelora itu menjadi satu tekad: KITA HARUS KUMPUL DALAM SEMANGAT UBI AMICI IBI OPES.

(para pendekar lintasgenerasi habis turun gunung)

Memang semangat Ubi Amici Ibi Opes itu muncul di saat-saat akhir ketika kerinduan untuk bertatap wajah mengerucut dalam bentuk kepanitian yang bertanggungjawab untuk kali ini tidak boleh ditunda lagi reuni itu. Para Braminers yang berada di Yogyakarta didapuk menjadi panitia untuk terselenggaranya reuni yang terus diundur-undur, sehingga dengan aneka keterbatasan RENCANA LAMA ITU PUN BERSERI KEMBALI seperti wajah-wajah bara peserta yang berseri tak bertepi, kangen yang membucah seakan menepi bersama dalam canda dan tawa, dalam lepas kangen setelah ada yang puluhan tahun tak pernah bersua wajah, meski sering bertukar kata dan suara melalui WA grup atau video call pribadi.

Mengapa rencana lama itu bisa berseri lagi? Mari kita coba membedah dan mencari letak RAHASIA “D” dalam acara perseduluran ini.

Rahasia “D” dalam Perseduluran

(Panitia lokal acara reuni akbar PBMN berpose usai evaluasi bersama)

Sedulur dalam bahasa Jawa artinya saudara. Perseduluran artinya persaudaraan. Ya saudara tidak mesti yang seayah dan seibu atau seluhur baik dari garis keturunan ibu maupun garis keturunan ayah. Sedulur bisa terjadi dalam sebuah komunitas hidup bakti, komunitas religius, komunitas yang berkumpul karena digerakkan oleh panggilan yang sama dalam semangat dan kharisma pendiri yang juga sama.

Tetapi apalah artinya se-Dulur tanpa D? Tanpa D, hanya akan ada seulur yang tidak ada artinya. Tanpa D akan menjadi ulur. Persiapan waktu yang mepet jika tanpa semangat D akan jadi ulur-ulur. Ulur sana ulur sini. Ketika ada rencana untuk rapat persiapan misalnya, tanpa semangat D ini, maka para anggota panita akan ulur-ulur waktu, semangat, kerelaannya untuk memberi diri. Tanpa D, para anggota Braminers tidak akan bersedia meninggalkan Kalimantan, Papua, Jakarta, Surabaya dan Semarang untuk sejenak ke Yogyakarta. Para anggota akan ulur-ulur rasa rindu, ulur-ulur membuka dompet, panita akan ulur-ulur urun rembug mencari solusi. Akibat dari ulur-ulur kegiatan reuni tentu tidak akan terlaksana.

Berkat D, ulur-ulur menjadi (se)DULUR. D-lah yang menggerakkan banyak anggota braminers lintas generasi mau merelakan waktu menggagas kebersamaan dan menciptakan kenangan seperti yang pernah dihidupi bersama di rumah “Brayat Minulya” sekian waktu silam.

Berkat D, persiapan yang digarap secara gotong royong segera mengusung tema reuni: Ubi Amici Ibi Opes, Di mana ada Persahabatan/Persaudaraan, di sana juga ada kekayaan, kerjasama, kegembiraan. Tema itulah yang membuat segenap anggota perse-DULUR-an tidak sabar untuk wujudkan reuni akbar ini dengan konsep Candle Light Dinner (CLD) yang tak pernah dibayangkan oleh para peserta. Konsep ini bukan tentang romantisme, tetapi tentang intimitas persaudaraan dalam kemasan makan malam yang akrab dan penuh kehangatan seperti nyala lilin yang tak pernah padam dalam minyak yang seakan tak pernah berkurang.

Romantisme CLD bukan tentang apa yang dimakan, tetapi tentang bagaimana kita memakannya, bagaimana kita memaknai makanannya, bagaimana kita menghadirkan kenangan bukan sebagai masa lalu yang membelenggu, tetapi tentang masa kini yang perlu disyukuri. Ya syukur atas adanya Perseduluran Brayat Minulya Nusantara (PBMN) ini sehingga bisa menjadi “rumah bersama” tempat menghidangkan kerinduan akan asuhan Keluarga Kudus yang didirikan oleh Pater Pendiri MSF, Venerabilis Jean Berthier, MS. PBMN yang digagas oleh para senior dua puluhan tahun lalu ini kian mendapatkan maknanya kala semua anggota merasa terpanggil dan penuh rindu untuk saling bersua, saling berbagi baik semangat dan materi antaranggota.

Romantisme reuni bukan tentang siapa yang ditemui, tetapi bagaimana isi pertemuan itu membuat setiap orang merasa saling hadir memberi dirinya, memberi hatinya, memberi pemikirannya untuk yang ada bersamanya kini dan di sini.

Romantisme reuni sebuah perseduluran adalah tentang bagaimana sebuah luka masa lalu disembuhkan secara partisipatoris tanpa harus mengorek nanah yang mengering menjadi luka baru yang lebih sakit, tetapi mengajak melihat luka itu sebagai bagian pembentukan diri: justru karena luka itu, aku menjadi yang sekarang.

Romantisme reuni adalah tentang memaknai masa lalu yang penuh luka (bagi sebagian saudara) menjadi masa kini yang penuh berkat.

Romantisme reuni itu bukan tentang berapa duit yang kita habiskan, tetapi tentang berapa saudara yang kita tambahkan, bagaimana kisah dan pengalaman menjadi guru bagi satu sama lain.

Romantisme reuni itu tentang kekuatan spiritualitas tokoh utama yang menyatukan kita (Pater Berthier) terus memanggil kita menjadi rasul awam untuk pergi kepada mereka yang jauh (dari perhatian dan yang kesepian, yang masih malu dan takut, bahkan merasa gagal karena tidak menjadi imam. Karena pergi kepada yang jauh tidak harus menjadi imam, cukuplah semakin katolik sekaligus apostolik seperti tema Adven 2022 ini).

Romantisme reuni itu adalah panggilan untuk terus mengalirkan “darah” kesetiakawanan bahwa kita pernah seatap dan semeja makan dalam asuhan spiritualitas Keluarga Kudus.

Romantisme reuni adalah tentang berkat yang terus terulur (tersalurkan) kepada semakin banyak saudara dan keluarga.

Reuni yang diisi dengan acara-acara spontan meninggalkan kesan mendalam yang cair dan meresap dalam memori sehingga memunculkan kerinduan: Kapan kita reuni lagi Bro? Ayo kapan, jangan lama-lama, keburu D-nya memudar lagi dan yang tinggal hanya ulur-ulur.

Spread the love