Sebuah Refleksi Natal oleh Alfred B. Jogo Ena
Pertama-tama saya aturkan Selamat Hari Raya Natal untuk kita semua. Semoga cahaya kasih Kristus menaungi kita sekalian dan membuat dunia ini makin terang dan damai.
Palungan dan Situasi Duniawi
Peristiwa Yesus lahir dan diletakkan dalam PALUNGAN menjadi sangat menarik untuk kita refleksikan di bagian pertama ini. Bagi masyarakat petani atau peternak, palungan bukanlah hal yang asing. Palungan adalah tempat mereka menaruh makanan untuk hewan piaraan seperti sapi, kerbau dan kuda. Tempatnya kotor dan penuh sisa-sisa makanan bahkan sisa-sisa liur hewan. Apa maknanya bagi kita kalau Yesus diletakkan dalam palungan?

Natal, peristiwa inkarnasi, Allah menjelma menjadi manusia dan diletakkan dalam palungan untuk menjadi santapan bagi manusia. Allah yang maha bersih rela turun dan dibaringkan dalam kekotoran dunia/palungan agar manusia lihat secara langsung, betapa Allah rela merendahkan dirinya demi dan bersama manusia. Berada di palungan seperti makanan yang siap disantap oleh hewan-hewan dalam kandang.
Kotornya palungan adalah situasi yang biasa bagi para peternak, bagi orang-orang biasa, kecil dan sederhana. Hanya orang kecil dan sedeharana seperti merekalah yang bisa menerima kekotoran kandang dan palungan tanpa mengeluh, tanpa menggerutu. Karena itulah keseharian mereka. Mereka sudah terbiasa dengan yang kotor. Dan tentu saja, mereka akan dengan terbuka hati meski awalnya tidak menyangka dan bertanya-tanya mengapa Yang Mahatinggi rela menjadi kotor dalam palungan.
Yesus rela menjadi “makanan” bagi manusia dalam simbol palungan mengingatkan kita akan peristiwa perjamuan terakhir ketika Yesus menyatakan Tubuh dan Darah-Nya adalah makanan dan minuman yang tak akan pernah membuat manusia lapar dan haus lagi. Dialah sang Roti Hidup.
Palungan dan perjamuan terakhir kini terus kita kenangkan dan rayakan dalam Ekaristi, perayaan syukur tempat kita menerima Tubuh Tuhan dipecah-pecah dan dibagi-bagikan kepada kita sebagai Makanan Spiritual. Ketika lahir Yesus sudah menyimbolkan diri-Nya sebagai makanan bagi kita dalam keadaan yang kotor (simbol dunia yang penuh dosa). Lalu dalam perjamuan terakhir Yesus memberikan diri-Nya sebagai makanan jiwa yang bersih setelah manusia ditebus-Nya dalam penderitaan dan kemenangan atas salib.

Peristiwa natal yang kita rayakan setiap tahun selalu gegap gempita tentang hal-hal lain. Tentang dekorasi dan asesoris natal bahkan sudah menjadi lahan bisnis yang menggiurkan. Tapi adakah kita sejenak merenungkan makna palungan, makna kekotoran, makna sisa-sisa makanan yang tercecer dari mulut hewan piaraan, tentang hidup kita yang tak lebih bersih dari palungan?
Natal dan peristiwa palungan telah menjadi ekaristi yang awali ketika Bayi Yesus relakan dirinya masuk dalam kekotoran dunia, kedosaan manusia kita. Perjamuan Terakhir, Yesus dewasa, ketika di penghujung tugas-Nya di dunia, menyerahkan diri-Nya menjadi santapan jiwa manusia. Betapa di awal dan di akhir masa kehadiran Tuhan Yesus di dunia, Tuhan telah memberikan kita simbol yang istimewa: DIA MENJADI MAKANAN JIWA KITA SELAMANYA.