Oleh Alfred B. Jogo Ena

Protomartir: Batu Penjuru Gereja Kristus

Sehari setelah Natal, Gereja merayakan pesta protomartir atau martir pertama dalam Gereja. Satu yang menurut hemat saya menarik direnungkan adalah Gereja menempatkan peristiwa kematian Stefanus sehari setelah hari raya natal. Bahwa setelah kehidupan (natal) ada kematian, setelah fajar tentu akan ada senja, setelah pagi tentu ada petang. Kehidupan dan kematian begitu dekat dengan kita.

Peristiwa pembunuhan terhadap Stefanus memang terjadi setelah pentakosta. Artinya peristiwa pembunuhan itu bukan secara kronologis terjadi setelah kelahiran Yesus. Tragedi kemanusiaan yang paling pilu berkaitan dengan natal justru ketika Herodes memerintahkan untuk membunuh semua anak karena merasa diperdaya oleh orang-orang Majus yang pulang melalui JALAN LAIN berkat perintah malaikat. Tragedi paling pilu ketika Herodes pemimpin yang ambisius yang tega membunuh anak-anaknya, tentu akan tega membunuh semua anak lain yang berpotensi mengganggu kekuasaannya. Kembali melalui JALAN LAIN di satu di sisi menyelamatkan Kanak Yesus, tetapi di sisi lain meninggalkan duka bagi para ibu yang anak-anakny menjadi korban kekejaman Herodes.

Peristiwa kemartiran Stefanus menjadi awal tragedi demi tragedi dalam sejarah panjang perjalanan gereja hingga hari ini. Sudah tak terhitung banyaknya martir yang menghiasi, menguatkan dan meneguhkan perjalanan Gereja mulai dari Yerusalem hingga ke seluruh dunia. Tragedi 26 Desember menjadi awal baru hidup bagi para pengikut Kristus, termasuk Saulus yang ketika peristiwa perajaman terhadap Stefanus ikut menyaksikan secara dekat.

Stefanus, sang protomartir telah menjadi batu penjuru atau fondasi yang menguatkan Gereja Kristus sejak setelah peristiwa pentakosta. Dari sana darah martir terus menjadi bahan adonan untuk menguatkan semen iman para pengikut Kristus hingga diakuinya agama Kristen sebagai agama negara oleh Kaiser Konstantinus Yang Agung mengeluarkan Edik Milano pada tahun 313. Sejak saat itu kekristenan berkembang pesat meski tragedi berdarah seperti Stefanus terus terjadi hingga hari ini.

18 Tahun Tragedi 26 Desember di Indonesia

(Foto dari www.visitbandaaceh.com)

Masih segar dalam ingatan kita bahwa 18 tahun silam, tepatnya pada 26 Desember Indonesia, khususnya di Aceh dan sekitarnya dilanda gempa dan tsunami nan dahsyat sehingga menelan korban ratusan ribu jiwa meninggal dan kehilangan tempat tinggal, kehilangan sanak saudara. Ignas Kleden menyebutnya sebagai peristiwa “maut yang berlabuh” untuk menggambarkan tsunami dahsyat yang memporak-porandakan Aceh, mengaduk rasa dan empati kemanusiaan seluruh dunia atas pilu yang terjadi di depan mata.

Sembari kita memohonkan istirahat abadi bagi para korban 18 tahun sila,m, hendaknya kita menyadari bahwa tragedi kesedihan, tragedi kepiluan bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan dalam bentuk apa saja. Sebagai insan lemah, kita hanya bisa waspada dan berjaga-jaga (karena kita tidak tahun kapan Anak Manusia, kapan Sang Pemilik Kehidupan datang mengakhiri hidup kita yang fana ini.

Rasa putus asa yang menghinggapi sebagian besar anak manusia 18 tahun silam – bahkan ribuan tahun silam sejak zaman Sfetanus (sebelumnya tragedi kemanusiaan terbesar terjadi dalam peristiwa penyaliban Yesus) – akan terus terjadi dalam hidup kita dengan tingkat dan bentuk yang berbeda-beda. Namun yang pasti, kemalangan itu tak mungkin terhindarkan selama hayat masih terkandung dalam badan kita.

Wajah Lain Tragedi

Tragedi manusia lain yang terjadi di depan mata adalah adanya arogansi segelintir orang yang merasa berkuasa atas hidup sesamanya (Kasus Sambo cs, kasus KKB di Papua, kasus perang Rusia dan Ukraina) juga kepongahan kelompok mayoritas yang menindas dan melarang orang lain beribabdah dengan tenang. Tregedi kemanusiaan bisa muncul dalam seribu wajah yang beraneka, bisa lembut penuh senyuman menipu, bisa kejam dalam tindakan yang di luar nalar.

Kemajuan ilmu teknologi yang tidak dibarengi dengan literasi yang memadai – ketika budaya membaca dan menulis masih tertatih-tatih – orang sudah langsung beralih ke budaya digital tanpa persiapan. Akibatnya keterasingan dan alienasi diri semakin menggerogoti hidup kita. Belum lagi dengan tragedi pandemi covid-19 yang membuat tatatan baru hidup ini. Ketika orang-orang dihempaskan secara emosional menyaksikan kepergiaan orang-orang terkasih tanpa ritual doa dan adat, tanpa pelukan dan tangisan, kita dihadapkan pada sebuah budaya egosentris baru: “jangan mendekat padaku, jika engkau menjadi sumber malapetakaku.”

Gereja Indonesia telah mengajak kita untuk memaknai Natal 2022 ini dengan jalan lain agar kita segera bangkit dari keterpurukan emosional, spiritual dan material akibat covid-19. Tregedi ini hendaknya semakian mendekatkan kita satu sama lain: bahwa kita tak pernah bisa kuat sendirian. Kita butuh sesama untuk mengarungi kehidupan yang tidak pasti – karena kepastian hanyalah milik kematian, karena di sana tidak ada organisme dan dinamika – agar bergandengan tangan, menyatukan rasa, seiramakan derap langkah menuju masa depan yang lebih cerah, bukan lagi untuk melabuhkan tragedi tetapi untuk melarungkan duka menjadi sukacita dalam pengharapan.

Dalam tragedi, mestinya kemanusiaan kita makin rekat karena kesadaran sebagai putra dan putri Adam dan Hawa yang mendiami bumi yang sama, dalam ungkapan cinta dan religiositas yang berbeda.

Spread the love