Refleksi Tentang Yohanes Rasul dan Pengarang Injil
Oleh Alfred B. Jogo Ena
Kesaksian Tentang Terang
Hari ini, Gereja Katolik merayakan pesta Yohanes, Rasul dan Pengarang Injil. Ada banyak julukan yang kita ketahui tentang sosok yang terkenal sebagai murid yang dikasihi, rasul yang dipasrahi tanggung jawab untuk menerima dan merawat Bunda Maria kala dia menemani Bunda Maria di bawah kaki Salib. Iya juga dikenal sebagai penulis Injil Yohanes, penulis surat 1-3 Yohanes dan Kitab Wahyu.
Tulisan-tulisannya bernada dasar kasih dengan menekankan keilahiran Yesus Kristus, Anak Allah. Hal ini ditegaskannya dalam bab-bab terakhir Injil Yohanes, “supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yoh 20:31). Penegasan ini seakan mengafirmasi ayat sebelumnya, “Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya” tentang peristiwa kebangkitan dan penampakan Tuhan Yesus kepada pada rasul dan para pengikutnya.

Yohanes yang kental dengan filfasat gnostikisme mengawali Injilnya dengan sangat indah, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah.” Agak berbeda dengan Injil Sinoptik, Yohanes justru menempatkan Tuhan secara abstrak sebagai Firman yang menjelma, yang sudah ada bersama Allah sebelum kelahirannya. Apa yang ditulisnya dalam injil ditegaskan lagi dalam 1 Yohanes, “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup–itulah yang kami tuliskan kepada kamu. Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal, yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami. Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya kamupun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus. Dan semuanya ini kami tuliskan kepada kamu, supaya sukacita kami menjadi sempurna.” (1 Yoh 1:1-4).
Tulisan surat-surat Yohanes 1-3 tampak seperti sebuah buku kronik yang memaparkan kebersamaannya dengan Tuhan Yesus. Lagi-lagi ia menegaskan bahwa Allah, dalam Kristus adalah Terang.
Putra Guntur bersama saudaranya yang Ambisius
Banyak disebutkan bahwa Yohanes bersama Yakobus sang kakak merupakan putra Zebedeus dan ibunya Salome, salah seorang wanita yang setia menemani Yesus dalam peristiwa jalan salib hingga akhir. Yohanes dan Yakobus yang semula adalah murid Yohanes Pembaptis rela meninggalkan sang guru demi mengikuti Yesus dengan bertanya, “Rabi, di manakah engkau tinggal?” Jawaban Yesus, “Marilah dan kamu akan melihatnya.” Sebuah jawaban yang simpatik diperdengarkan oleh Yesus dan membuat hati keduanya lulur, meninggalkan Yohanes dan mengikuti Yesus. Tentu saja jawaban yang evokatif dan persuasif (bukan provokatif) “marilah dan kamu akan melihatnya” lebih menggugah rasa ingin tahu keduanya untuk datang dan bergabung bersama Yesus.
Yohanes yang bisa disebut juga sebagai tim inti para murid bersama Petrus dan Yakobus karena mereka bertiga ini selalu hadir bersama Yesus dalam aneka peristiwa penting yang Yesus lakukan. Mungkin karena kedekatan inilah, Salome sang ibu lalu berambisi secara politis untuk menempatkan kedua putranya di sebelah kiri dan kanan Yesus bila kelak menjadi raja.

Perilaku ibunda Yohanes dan Yakobus tampaknya terus aktual hingga kini. Lihatlah politik dinasti yang langgeng sekaligus merusak tatanan demokrasi di Indonesia. Demokrasi keluarga makin kuat sejak reformasi. Jika suami menjadi bupati dua periode, maka periode ketiga dan keempat diganti oleh istrinya, lalu diganti oleh adik-adik baik dari pihak suami atau istri kemudian dilanjutkan oleh anak-anak mereka. Di Dewan Perwakilan rakyat juga demikian. Dari zaman ke zaman, kita macam akrab dengan wajah yang sama mulai dari generasi kakek nenek hingga cucu. (ah lu lagi lu lagi, tetapi ya tetap saja mereka dipilih meski sesungguhnya masyarakat sudah bosan dengan muka yang itu-itu juga). Akhirnya siklus demokrasi hanya berputar-putar dalam keluarga itu, dan masyarakat pun dengan sukarela memilih mereka meski berkali-kali ditipu oleh perilaku yang koruptif dan tidak tahu malu.

Dari tangan putra guntur inilah kita membaca kata-kata Yohanes yang terkenal antara lain, “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yoh 1:14); “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16); atau yang paling terkenal “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak Ada seorangpun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6). Dari Yohaneslah kita menjadi semakin yakin dengan iman kita kepada Allah Tritunggal, karena kita termasuk dalam bilangan yang disebut, “Berbahagialah yang tidak melihat namun percaya.”