Oleh: Alfred B. Jogo Ena

Allah sendiri adalah sebuah keluarga, suatu keluarga abadi yang terdiri dari tiga: Bapa, Putera dan Roh Kudus. Sejak semula, mereka saling mengenal dan mencinta dalam satu kesatuan sempurna. Keluarga Allah itu, Trinitas abadi adalah model yang sempurna dari seluruh hidup keluarga dan seluruh hidup sosial. Tetapi Allah dalam Tiga Pribadi ini sangatlah besar dan tak terbatas bagi kita untuk dijadikan sebagai model dalam hidup kita yang terbatas. Itulah keluarga surgawi yang seharusnya kita kenal secara mendalam dan benar. Sebab ketika kita berhadapan langsung dengan Tiga Pribadi ilahi dalam kemesraan mereka kita akan membagi hidup mereka yang membahagiakan dalam hidup kita sendiri.
Model Keluarga Nazareth
Karena keluarga abadi sulit ditiru dalam kehidupan kita yang fana, Allah telah memberikan kepada kita sebuah model yang kita kenal serupa dengan kita dan dapat ditiru: Keluarga Kudus dari Nazareth. Itulah “Trinitas” duniawi yang kelihatan, sebab mereka tiga juga: Jesus, Maria dan Yosef. Itulah model kita di dunia yang sempurna. Sebuah model bagi persatuan kita dengan keluarga besar anak-anak Allah.
Mari kita kontemplasikan “Trinitas” duniawi, Yesus, Maria dan Yosef. Satu hal saja dari tiga pribadi suci ini yang akan digunakan dalam formasi manusiawi kita. Melalui pengalaman-pengalaman mereka yang saling melengkapi ketiga pribadi ini menjadi model kita baik dalam hidup keluarga maupun sosial.

Kita akan menguji beberapa hal yang menjadi ciri khas masing-masing pribadi keluarga kudus ini. Yesus tidak pernah datang melalui perkawinan manusia, tidak berupaya memberikan contoh konkret kepada para tunangan dan pasangan suami-istri yang kadang-kadang menemui kesulitan yang tak diharapkan. Melalui Maria dan Yosef, Allah memberikan contoh kelakuan yang baik kepada para pasangan tunangan atau suami-istri ketika timbul suatu cobaan yang mengancam kesatuan atau merusak kebaikan mereka.
Kesetiaan Yosef
Yosef dan Maria telah bertunangan (ekuiwalen dengan perkawinan), tetapi mereka belum boleh hidup bersama. Beberapa saat kemudian, Maria pergi selama tiga bulan ke rumah sepupunya Elizabeth. (Kepergian Maria ke tempat Elizabeth, bagi kita bisa menjadi semangat/teladan untuk melayani yang jauh, miskin, lemah dan tersingkir. Kepergian Maria adalah sebuah opsi bagaimana kita meyalani, meski kondisi kita sendiri harus dilayani.) Dan ketika dia kembali ke Nazareth, Yosef menyadari bahwa Maria telah mengandung. Yosef tercengang dan bertanya ketakutan: bagaimana itu terjadi?
Malekat Gabriel, tidak segera memberi keterangan kepada Yosef! Allah punya rencana bahwa Maria dan Yosef harus mengetahui setiap cobaan dari pasangannya sendiri. Mereka diberi kesempatan menjadi model kerendahan hati bagi banyak pasangan yang akan menemui cobaan semacam itu untuk berpikir, berkeputusan dan bertindak dengan rendah hati.

Kita mungkin akan berpikir seperti Yosef. Mungkin ia bertanya-tanya jangan-jangan Maria telah diperkosa atau telah digoda oleh seorang laki-laki lain. Yosef terus bergulat dengan pikiran dan perasaannya. Meski ragu ia tetap bersedia mengambil Maria dan menjadi ayah sesungguhnya bagi anaknya! Tetapi yang mengherankan: Maria tidak pernah mengatakan padanya…! Adakah sesuatu yang sangat sulit dijelaskan atau diyakinkan padanya? Yosef menghormati kebisuan Maria, tetapi dia sesungguhnya ketakutan.
Lalu mengapa Maria tidak pernah berbicara? Malaikat Gabriel tidak pernah melarang dia memberitahu Yosef. Apakah Maria bingung menjelaskan pada Yosef suatu perbuatan yang tak dapat dipercayai secara manusiawi? Tentu Maria sangat menderita seperti Yosef. Dan mereka saling menerka pikiran dan perasaan satu sama lain. Dalam kekalutan mereka memohon agar Allah sendiri yang memecahkan kesulitan itu, dan mengatur segala sesuatu menurut kehendak dan kebaikan-Nya. Yosef tentu tidak merasa dirinya tidak layak, tidak mampu untuk menerima anak yang kudus itu, seorang ayah angkat dan seorang pendidik yang baik untuk mempersiapkan misi-Nya di masa depan. Dia hanya lelah untuk mencari suatu solusi yang cocok atas masalah yang sangat menyedihkan ini. Dan dia tidak menemukan solusi yang lebih baik selain mengembalikan sepenuhnya pada kebebasan Maria, tanpa menuduh dia yang bukan-bukan, tanpa surat penolakan. Ia sangat menghormati kebebasan dan reputasi Maria. Tetapi reputasinya sendiri ditekan?… Jika ia memutuskan Maria, maka orang akan menyebutnya meninggalkan tunangannya yang ideal tanpa alasan yang bisa diterima, atau seorang pengecut yang menelantarkan seorang anak yang akan menjadi miliknya. Dia pun memohon pada Allah kekuatan untuk menanggung semuanya itu. (Oh…seandainya banyak orangtua dewasa ini belajar pada Yosef dan Maria…)
Namun Allah tidak menghukum tunangan Maria itu terus menerus. Dia mengutus malaikat-Nya pada Yosef untuk menjelaskan rencana Allah. Bahwa Yosef akan menjadi ayah yang kelihatan dan nyata, ayah angkat yang sesungguhnya dan pendidik yang benar, bersama Maria, bagi anak yang kudus itu. Dia juga akan menjadi penjaga bagi Perawan dan kepala Keluarga Kudus. Yosef pun menerima rencana ilahi itu dengan suatu kesederhanaan yang mengagumkan dan penuh keyakinan akan pertolongan Allah. Itulah penghargaan yang luar biasa membesarkan bagi Maria dan bukti cintanya yang masih tulus pada Maria.
Ketenangan datang lagi setelah dites dalam jiwa dari pasangan model ini. Suatu kedamaian dan afeksi mutual nyata merajai rumah tangga mereka. Mereka telah menyiapkan diri dengan suatu buaian kebahagiaan untuk menantikan sang anak. Dan ketika tiba hari kelahiran sang anak ilahi, tetapi dalam situasi yang tak dipersiapkan sebelumnya: dalam kemiskinan dalam perjalanan ke Betlehem, akibat dekrit Kaisar. Dalam hal ini, Anak Allah telah memberikan contoh, lahir di dalam kandang tidak dalam kerajaan yang mewah. Dia mengajarkan kekayaan spiritual suatu kebenaran bagi kehidupan kekal. Dia telah menunjukkan cinta Allah yang tanpa batas. Dia telah memperlihatkan kemanusiaan Allah dan menjadikan diri-Nya kecil diantara kita dan lebih mendekatkan diri-Nya dengan keadaan kita.

Model Orangtua yang Baik
Maria adalah model dari seorang ibu yang penuh dengan kemesraan bagi anaknya, yang penuh dengan kebaikan bagi beberapa pengunjung atau tetangga yang tertarik dengan mereka dan datang melihat mereka. Yosef adalah model dari seorang suami yang penuh perhatian, afektif dan seorang ayah yang penuh cinta dan kesetiaan bagi anaknya. Yosef juga model dari kepala keluarga yang bertanggungjawab. Sebagai kepala keluarga, ia tentu mencari rumah di Betlehem, tetapi yang ditemukan hanyalah sebuah gua kandang hewan para gembala. Yosef mencari juga pekerjaan dan bekerja sebagai tukang kayu di kotanya untuk menghidupi keluarga kecilnya. Itulah mengapa dia bekerja ketika kedatangan para Majus yang “masuk dalam rumah”, kata Injil, “kalian akan menemui hanya seorang anak bersama Maria ibunya.” Mereka bertemu juga dengan Yosef, tetapi tentu saja setelah dia kembali dari kerja.
Setelah kunjungan para Majus, keluarga ini segera mengungsi ke Mesir, untuk menghindari permusuhan raja Herodes. Karena Yosef adalah kepada keluarga, dialah yang melindungi mereka dari bahaya, dialah yang memutuskan untuk segera pergi, dengan tergesa-gesa. Setelah beberapa saat tinggal di sebuah tanah yang asing, dialah yang mengambil keputusan untuk kembali ke Nazareth bukan ke Betlehem. Setiap kali dia menyampaikan keputusannya kepada Maria dengan halus, tetapi juga dengan ketegasan yang manis. Dan Maria taat, tanpa membuat kesulitan, sebab dia penuh kepercayaan pada Yosef dan kebijaksanaannya.

Orangtua Yang Tidak Posesif dan Abusif
Waktu terus berlalu, tanpa sejarah yang menakjubkan di desa Nazareth. Yesus pun semakin dewasa dan bijak. Ia terlibat sedikit demi sedikit dengan pekerjaan Maria dan Yosef dan membiarkan diri-Nya patuh kepada bimbingan mereka. Dan tibalah umur 12 tahun. Ia tidak lagi seorang anak kecil, tetapi seorang remaja. Maka, timbullah suatu peristiwa yang menjadi contoh yang jelas dan lengkap bagi para orangtua yang menemui kesulitan terhadap anak-anak mereka yang mulai besar. Sebagaimana seorang remaja, Yesus ingin mewujudkan kebebasan pribadi-Nya, kebebasan berpikir dan mengambil keputusan seorang diri. Maria dan Yosef sebagai orangtua yang baik merasa bingung dengan sikap dan kelakuan baru anak remaja mereka.
Dalam suatu iringan besar orang-orang Galilea yang berangkat ke Yerusalem untuk merayakan paskah, Maria dan Yosef telah memperlihatkan pada kita bagaimana menjadi orangtua yang bijaksana, bukan orang tua yang posesif (mengekang), abusif (menyalahkan), yang berprasangka, dan sangat mengawasi anak mereka yang berumur 12 tahun itu. Mereka tentu telah memberikan dia suatu kebebasan. Maria berjalan bersama sekelompok wanita, Yosef bersama sekolompok pria. Dan Yesus kadang bersama salah satu kelompok orangtua itu, kadang bersama pemuda seumurnya, atau bersama satu keluarga sahabat.
Dalam perjalanan itu, segalanya berjalan baik. Tetapi ketika kembali, setelah suatu perjalanan kaki yang melelahkan (tentu dengan barang-barang bawaan) kurang lebih 35 km, semua keluarga berkumpul untuk untuk istirahat tentu saja untuk makan, sebelum meneruskan perjalanan keesokan harinya. Lalu… Maria dan Yosef baru menyadari kalau Yesus tidak bersama salah satu dari mereka, tidak bersama para sahabat, selama perjalanan pulang itu: tidak seorang pun yang lihat!

Keesokan harinya, mereka berbalik lagi ke perjalanan yang sama dengan sangat cemas, dan mereka bertanya diri tentang tugas mereka sebagai orangtua. Setibanya di Yerusalem, mereka lelah sekali. Mereka istirahat sejenak mungkin di rumah kenalan mereka, lalu berusaha untuk menemui Yesus. Dan kurang lebih setelah tiga hari mereka mencari, mereka menemui Yesus dalam sinagoga… (oh betapa leganya hati mereka)
Apakah yang dapat dilakukan, apabila kita seperti mereka sebagai orangtuanya yang sesungguhnya? Tentu kita akan menghukumnya dengan menjewer telinganya atau lebih kejam menyiksa dia hingga sekarat bahkan meninggal (sebagaimana yang sering terjadi dewasa ini, orangtua bertindak kejam pada anak-anak mereka). Lain dengan yang dilakukan oleh Maria dan Yosef. Tidak ada satu hal pun yang disampaikan oleh keduanya. Sebagai pendidik yang baik mereka tidak mencela anak mereka apalagi menghukumnya meskipun dia semestinya mendapat celaan atau hukuman. Tetapi malah mereka bangga ketika menyaksikan anak mereka sedang berdiskusi dengan para cerdik pandai dan menggantikan kedudukan mereka. Mungkin ada suatu alasan yang dapat diterima mengapa dia berbuat demikian. Tetapi alasan yang mana? Mereka harus menemukannya. Itulah mengapa mereka memulainya dengan pertanyaan….
Marialah yang bertanya. Yosef membiarkan dia berbicara, dia mendengarkan dan refleksi dengan puas. Sebab dia tidak pernah menyalahgunakan kekuasaannya. Maria sama adilnya dengan dia terhadap anaknya. Dengan kesedihan seorang ibu, Maria bertanya: “Mengapa engkau menyusahkan kami dengan berbuat demikian… tinggal di sana tanpa memberitahu dan tanpa meminta ijin kami?”

Dalam jawaban Yesus, Maria dan Yosef mengerti bahwa Yesus berbuat demikian “bagi Bapa-Nya di surga”. Tetapi mereka tentu tidak mengerti dengan segera. Itulah mengapa dalam hal ini, Yesus tidak perlu meminta ijin mereka dan tanpa ragu Dia menunjukkan bahwa Dia semestinya melakukan kehendak Bapa surgawi yang mengatasi orangtua duniawinya. Meski demikian orangtua-Nya tetap setia menuntun Dia semakin memahami kehendak Allah dalam keseharian mereka di Nazareth.
Maria dan Yosef mulai mengerti bahwa Yesus mempunyai suatu alasan yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan mereka, bahkan sebagai seorang anak, Yesus sendiri siap menerima hukuman, seandainya mereka melakukannya. Mereka hanya bisa merenungkan jawaban Yesus dalam hati. Dan mereka menjadi lebih mengerti dan memahami seorang anak remaja yang sedang berusaha menampilkan jatidirinya secara jujur dan sedikit berisiko (bagi anak seumur dia) berhadapan dengan para imam kepala.
Yosef yang sejak semula hanya diam, dengan penuh wibawa berkata: “Serakang, mari kita kembali ke Nazareth”. Saya yakin, dalam perjalanan pulang itu, saat hanya mereka bertiga, Yesus berusaha menjelaskan maksud perbuatan-Nya sebagai suatu panggilan yang harus dilakukan-Nya di hadapan orang banyak. Dengan penuh kelembutan dan rasa sayang, Ia berusaha menyenangkan hati mereka, yang tentu saja sudah kelelahan (suatu kelelahan akibat beratnya beban tanggungjawab sebagai orangtua yang “kehilangan” anak) dan memperbaiki rasa bersalah-Nya. Yesus memperlihatkan suatu sikap patuh sembari menyesuaikan diri dengan masa remaja-Nya. Ia sungguh mengasihi dan menghormati mereka. Kitab Suci bahkan mencatat dengan sebuah ungkapan yang sederhana: “Ia kembali bersama mereka ke Nazareth dan tetap berada dibawah bimbingan mereka.”
Melepas Anak Memenuhi Panggilan
Waktu terus berlalu dalam keheningan Nazareth. Kini… tibalah Yesus berumur 30 tahun. Apa yang ditakutkan Maria terjadi. Dengan rasa sedih mendalam, Yesus mengatakan bahwa saat-Nya sudah tiba, Ia harus segera meninggalkan mereka untuk memenuhi panggilan utama-Nya: mewartakan kabar keselamatan, membebaskan yang miskin, dan menghantar jiwa-jiwa ke dalam kemuliaan kekal.
Maria sedih mendengarkan Puteranya, tetapi dia sadar bahwa Puteranya bukan untuk dirinya sendiri, namun bagi seluruh umat manusia. Sebagai hamba Allah yang setia, dan secara manusiawi, ia siap melayani dengan segenap jiwa raga, karena Allah telah menganugerahkan keselamatan padanya maka kini ia harus membantu Puteranya… melalui doa dan pelayanannya yang total untuk mewujudkan kasih Allah dan sesama, tetapi sekali lagi semuanya bergantung sepenuhnya pada kehendak Allah.
Sementara Yesus mulai menyatakan kasih dalam sejumlah mukjizat dan perbuatan baik, Maria tetap menjalani hidupnya yang biasa secara tekun. Yesus telah memberi dia suatu contoh hidup yang biasa bukan saja terbatas dalam keluarga-Nya tetapi juga di hadapan publik. Dan sedikit demi sedikit mereka mulai mengerti bahwa Dia sungguh Allah dan sungguh manusia. Bagi kita, tentu lebih mudah meniru Maria daripada meniru Yesus. Maria memang tidak melakukan mukjizat, tetapi dia dengan penuh keyakinan meminta pada Puteranya melakukannya sewaktu di Kana. (Maria menjadi seorang ibu yang peka akan kemampuan anaknya. Kalau ibu-ibu dewasa ini peka mengembangkan bakat anak-anaknya sejak dini, niscaya akan ada banyak anak dengan prestasi gemilang sekaligus berkualitas nurani yang handal.)

Yesus sendiri memang manusia sama seperti kita. Tetapi kita tak dapat meniru dia tanpa memahami apa yang Ia katakan: “Bapa dan Aku adalah satu”, atau “Barangsiapa mengasihi ayahnya atau ibunya lebih daripada Aku tidak layak bagi-Ku!” Yesus mengatakan itu tanpa memungkiri kemanusiaan-Nya, sebab kebenaran sejati dan misi-Nya mengajarkan kita kebenaran: kebenaran menurut Yesus sendiri, menurut Bapa Surgawi atau menurut Roh Kudus, atau kebenaran menurut kehendak manusiawi kita. Ya… kemanusiaan adalah kebenaran: kebenaran yang diketahui dan dikatakan tanpa ragu dalam roh kasih bagi kebaikan kita semua.
Maria sendiri adalah satu model yang membantu kita melaksanakan kebenaran manusiawi. Lihatlah apa yang dia lakukan selama tiga bulan di rumah sepupunya Elisabeth. Dia berada disana untuk melayani dan bukan untuk memperlihatkan dirinya sebagai Ibu Penyelamat, dia sendiri tidak akan mengatakannya, jika Roh Kudus sendiri tidak menyatakannya pada Elisabeth. Tetapi lihatlah Elisabeth dengan penuh sukacita menyatakan perasaannya yang paling dalam. Dan apa jawaban Maria? “Jiwaku memuliakan Tuhan!” Benarlah bahwa aku akan memberi sang Penyelamat kepada dunia, tetapi sesungguhnya biarlah Allah yang dimuliakan, dipuji dan dicintai lebih daripada aku. Dialah yang melakukan semua hal indah demi keselamatan semua orang. Dialah yang memperlihatkan prinsip-prinsip berbuat baik yang seharusnya kita lakukan. Sebab jika kita melakukan beberapa hal baik, itu harus dilakukan dengan kualitas dan kapasitas yang telah Tuhan berikan pada kita, dan dengan kasih yang permanen dari rahmat Allah. Kita janganlah melupakan hal-hal itu, sebab dengan cara itu kita memuliakan Allah melalui perbuatan baik yang kita lakukan. Maria, tidak pernah lupa untuk memuliakan Allah. Baginya, kebenaran manusiawi adalah kebenaran yang diketahui, tetapi kebenaran sempurna bukanlah kebenaran yang terkontaminasi sebagaimana yang kita miliki.
Sedangkan Yosef, memperlihatkan pada kita sisi kemanusiaan yang lain: kemanusiaan yang hening!. Keheningan sempurna yang penuh rasa hormat. Maria memberikan contoh bagaimana melayani Allah dengan total. Meskipun ia pernah mendapatkan jawaban yang menyakitakan dari Yesus “Siapakah ibuKu” (ibuKu adalah orang yang melaksanakan kehendak Allah), Ia tetap yakin bahwa Yesus memahami dirinya dengan penuh kasih. Jawaban Yesus yang keras, mendorong Maria semakin menemukan kehendak Tuhan. Ya… Maria selalu belajar dari semua peristiwa yang menyakitkan untuk menemukan kehendak dan rahmat Allah dalam hidupnya.

Akhirnya kita tahu bahwa dalam keluarga kecil nan bahagia (Keluarga Kudus): Yesus, Maria dan Yosef telah menjalani peran mereka dengan sempurna. Mereka telah menjadi model bagaimana memadukan dimensi spiritual (kesatuan mesra dengan Allah) dan dimensi sosial (bagaimana seharusnya mereka hidup saling menunjang satu sama lain). Mereka telah memperlihatkan pelayanan dan kasih dijalankan sesuai dengan kapasitas pribadi masing-masing. Perbedaan kapasitas itulah yang menjadikan keluaga kudus indah, utuh dan menjadi model bagi hidup keluarga dan masyarakat kita.
Semoga dengan kontemplasi ini, kita semakin mampu menghidupi spiritualitas keluarga kudus dalam keluarga dan masyarakat kita.
(Tulisan ini disadur secara bebas dari Le Messager de la Sainte Famille dan pernah dimuat pada Majalah INSPIRASI Lentera yang Membebaskan No 29 Tahun III Januari 2007)