Oleh: Alfred B. Jogo Ena
DIAM ITU EMASKAH?

Kita sering mendengar pemeo: diam itu emas. Apakah demikian? Diam yang bagaimana yang bisa dikatakan sebagai emas?
Seperti halnya dengan kata-kata, di dalam diam juga ada kekuatan. Diam bisa dipakai untuk menghukum, mengusir, atau membingungkan orang. Diam juga bisa menunjukkan kecintaan kita pada seseorang karena memberinya ruang dan waktu. Terlebih jika sehari-hari kita sudah terbiasa gemar menasihati, mengatur, mengkritik bahkan mengomeli.
Dalam diam, seseorang berusaha memahami dan memaknai arti cinta, perhatiannya bahkan kejengkelannya pada sahabat. Dalam diam, kita dapat menemukan mutiara-mutiara berharga dalam menjalin persahabatan.
Dalam komunitas religius ada istilah silentium magnum (bisa diartikan diam total, diam dalam waktu yang lama, hening) menjadi saat orang menjadi lebih dekat dengan dirinya sendiri. Dalam keheningan, dalam diam orang diajak semakin dekat dan kenal dengan dirinya sendiri, membiarkan diri mendengarkan sapaan Tuhan.
Diam juga bisa menjadi JUMAT AGUNG: saat orang mematikan segala kesenangan diri demi bersatu dengan penderitaan Yesus. Dalam diam, orang diajak memaknai luka yang teramat dalam, kesepian yang amat ngeri ketika ditinggalkan oleh orang-orang yang mengakui mencintai-Nya (selain Sang Ibu, murid yang dikasihi dan beberapa wanita yang tetap setia menemani hingga akhir). Diam adalah JUMAT AGUNG pengkhianatan cinta yang berpuncak pada kematian.
Dengan dan dalam diam, kita mengukur kekuatan diri untuk bijak kapan harus bicara dan kapan harus mendengarkan, kapan membiarkan DIA menguasai hati kita, kapan hati kita merasakan sapaan yang Ilahi. Dalam diam orang berinstrospeksi diri, melihat dirinya dalam cermin tanpa kaca: apakah memantukan kebaikan ataukah sebaliknya?

Diam adalah doa yang terbaik karena membiarkan Allah yang berbicara dengan “mengunci” mulut kita dan membuka hati kita pada-Nya. Doa yang terindah bukanlah pada kata-kata puitis yang mengalir tanpa henti dari bibir yang lincah berbicara. Doa terindah justru bibir yang diam dan hati yang berbicara.
***
Memang, tidak selamanya diam itu emas. Diam itu TIDAK BERLAKU ketika terjadi ketidakadilan, ketidakjujuran, penindasan harkat dan martabat manusia. Karena jika orang diam saja menghadapi hal-hal yang demikian, sesungguhnya diamnya telah menjadi belati yang menikam kemanusiaan. Diamnya telah menjadi racun yang mematikan. Diam menjadi apatisme yang membuat orang tersegregasi dalam tembok-tembok ingat diri. Diam yang demikian menjadi sebuah CUEKISME yang mematikan, tidak saja bagi orang di sekitar tetapi justru bagi diri kita sendiri.