Oleh: Alfred B. Jogo Ena
Sering kita mendengar orang (bisa saja kita sendiri) mengeluh sulit untuk menulis, sulit untuk merumuskan sebuah ide, kisah dan pengalaman menjadi sebuah tulisan. Ketika ditanya sulitnya di mana? Bagaimana kita bisa mengatasi rasa sulit?
Pertanyaan bagaimana itu tentang proses, cara untuk keluar dari “saya rasa” sulit, keluar dari “saya pikir” sulit, “saya sangka” sulit. Kita tidak akan pernah bisa keluar dari kesulitan itu kalau kita tidak berusaha menemukan jalan keluarnya. Jalan keluar hanya bisa diatasi dengan menemukan (kalau belum ada membuatnya) jalan keluar.
Misalnya ada yang mengeluh sulit menulis cerpen. Cara mengatasinya ya 1. mulailah menulis cerpen. 2. mulailah membaca cerpen orang lain. 3. menulislah lagi cerpen. 4. ulangilah langkah-langkah di atas. Begitulah seharusnya yang terjadi.
Jika orang mengeluh sulit menulis tetapi tidak pernah memulai untuk menulis, maka sampai kapan pun orang itu tidak akan pernah bisa menulis. Kesulitan menulis tidak bisa diatasi dengan mengeluh atau merasa, memikirkan atau menyangkanya/mengiranya, tetapi dengan mulai berlatih menulis dan menulis dan menulis tiada henti. Tertatih dan berat itu biasa. Tetapi harus segera dimulai dari kata pertama, kalimat pertama, paragraf pertama, halaman pertama, bab pertama, artikel pertama, puisi pertama, cerpen pertama, dan lain-lain. Sebab jika tidak pernah dimulai dengan yang pertama, maka selamanya tidak akan pernah terjadi yang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya.
Bukankah seorang anak bisa berdiri dan berjalan diawali dengan merayap pakai perut, lalu merangkak, mencari pegangan supaya berdiri, menggerakkan kaki agar bisa melangkah dan seterusnya sampai bisa berjalan? Apakah sekali jadi? Tidak! Proses latihannya berulang-ulang dan lama sampai dia bisa berjalan. Begitu juga dengan proses menulis.
Orang sering beragumen untuk menguatkan keluhannya, “Saya memang tidak berbakat menulis.” Menulis itu pertama-tama bukan soal bakat, tetapi soal ketekunan untuk memoles bakat itu menjadi sebuah kebiasaan. Karena bakat tanpa latihan dan ketekunan hanya akan selamanya menjadi bakat yang tidak berarti apa-apa.
Saya juga dalam kesempatan lain sering mendapat protes: “Tapi Pak, saya tidak bisa menulis.” Saya sulit merangkai kata-kata.” “Saya tidak mempunyai waktu untuk menulis.”
Bagi saya ini alasan yang aneh dan dibuat-buat, alasan orang yang malas. Bagaimana kita tidak bisa menulis? Bukankah kita sudah sekolah dari TK sampai Perguruan Tinggi bahkan ada yang S1, S2, S3 bahkan Steler (alias jurusan dan ilmu sudah dipelajari). Bukankah kita fasih berbicara? Lalu mengapa kita mengeluh sulit menulis. Menulis itu nama lain daripada berbicara dengan kata-kata yang tersusun di kertas, wall FB, blog, buku tulis/diary. Untuk menjadi bisa, janganlah menunggu karena dengan menunggu kita membiarkan sesuatu yang berharga terlewatkan begitu saja. Kita semua diberi waktu yang sama sehari 24 jam. Jika memiliki kerja, kita memiliki jam kerja yang sama (karena perarturannya memang demikian). Lalu mengapa orang lain bisa menulis sedangkan kita hanya bisa mengeluh?
Cara termudah mengatasi kesulitan menulis ya dengan MENULIS. Ada satu fenomena yang luar biasa selama dan pasca pandemi covid 19 ini. Kelompok menulis dalam aneka bentuk dan nama muncul di mana-mana seperti cendawan di musim hujan. Banyak orang bisa mengikuti dan menulis puluhan antologi dengan aneka tema. Mereka bisa mengatasi keengganan dan kesulitan mereka dalam menulis dengan menulis dan terus menulis.
Memang harus diakui bahwa menjamurnya kelompok penulis ini belum seiring dengan menjamurnya kelompok pembaca. Karena mereka yang menulis ini, mendanai sendiri penerbitan dan menjadi pembaca sendiri karyanya dan sekelompok orang dalam buku itu. Gegap gempita budaya literasi belum sungguh didukung oleh para pihak yang punya kekuatan memengaruhi masyarakat pembaca.
Sungguh benar apa yang bapak katakan itu …. semuanya ada dalam diriku…. terimakasih sudah mengingatkan kembali…