Oleh Alfred B. Jogo Ena
“It is confidence in our bodies, minds, and spirits that allows us to keep looking for new adventures” — Oprah Winfrey
Kata-kata Oprah Winfrey secara bebas bisa diterjemahkan demikian, “Keyakinan terhadap tubuh, pikiran dan semangat kitalah yang memungkinkan kita untuk terus mencari petualangan baru.”
Dalam dunia tulis menulis, hambatan terbesar bagi seseorang untuk berkembang adalah menjadikan orang lain sebagai standar diri. Akibatnya orang lain yang menjadi fokus kekaguman. Hal itu sering terlontar melalui kata-kata berikut: “Aku kan tidak bisa menulis seperti dia.” “Dia sudah ahli, sedangkan aku masih pemula” (catatan istilah pemula seringkali karena belum pernah memulai menulis). “Aku jadi minder di hadapannya. Tulisannya bagus, sedangkan aku masih amburadul” (amburadul bagi yang sudah jatuh bangun menulis sih tidak masalah, tapi baru sekali dua kali lalu ngeluh amburadul, ukurannya menjadi tidak adil). Dan aneka ungkapan yang merendahkan diri sendiri di hadapan orang lain.
Kita sudah berlaku tidak adil terhadap diri sendiri mulai dari pikiran karena terlalu memberi fokus atau perhatian pada orang lain dan karya-karyanya. Ketidakadilan ini perlahan-lahan menggerogoti rasa percaya diri kita untuk menulis.
Beruntunglah kita kini ada media sosial seperti Facebook atau blog tempat kita bisa menulis apa saja. Kemudahan ini memungkinkan kita untuk terus berupaya untuk terus mengembangkan diri. (bahkan termasuk yang ikut-ikutan saja. Ada event apapun untuk menulis antologi entah puisi, cerpen, atau aneka tema lainnya, semuanya diikuti. Entah melalui sistem kurasi yang ketat maupun yang tanpa seleksi namun berbayar dengan imbalan dapat sertifikat dan aneka hadiah lainnya. Tidak masalah. Semuanya itu menjadi bagian dari proses menumbuhkan jam terbang dalam menulis sekaligus menumbuhkan rasa percaya diri.)
Melalui medsos pribadi kita tidak perlu cemas tulisan kita ditolak oleh redaksi (kecuali media online bertarif atau beradmin lainnya yang memberikan standar tinggi untuk sebuah tulisan yang layak dimuat/ditayangkan). Melalui medsos kita tidak perlu cemas tidak diapresiasi oleh melalui ikon: jempol, love, care, tertawa, sedih dan marah).
Kita menulis bukan untuk disukai atau tidak. Menulislah karena kita memang hendak menyampaikan sesuatu melalui tulisan kita. Takut tulisan jelek? Tidak perlu takut. Anggaplah ini sebagai media untuk memupuk kepercayaan diri untuk menulis lebih baik dan terus lebih baik. Sebagai pengalaman, saya memakai facebook sebagai ARSIP untuk kemudian saya kembangkan lagi entah menjadi tulisan yang lebih serius (opini) atau jenaka dan fiksional (cerpen dan puisi) maupun menjadi buku.

Kembali ke soal MEMUPUK RASA PERCAYA DIRI SEBAGAI PENULIS. Jadikan diri kita standar pujian dengan memakai tulisan orang lain atau penulis lain sebagai pijakan atau cermin yang memantulkan gairah diri kita untuk mencapai yang sama. Kalau kita menempatkan orang lain sebagai standar, maka ketika kita tidak bisa mencapai standar itu, kita akan menyerah dan menyalahkan diri sendiri.
Kedua buku saya di bawah awalnya hanyalah postingan saya di FB yang kemudian saya kumpulkan dan edit kembali menjadi buku sehingga ARSIP di medsos berubah menjadi buku bisa dibaca oleh semakin banyak orang. Itu sejalan dengan motto saya: MENJANGKAU SEBANYAK MUNGKIN ORANG MELALUI BUKU. Karena bagi saya BUKU adalah pewartaan yang berulang, tanpa harus diulang-ulang.