Ada banyak cara orang merayakan syukur. Ada yang dirayakan secara bersama-sama dalam keluarga atau komunitas. Ada yang mau rayakan syukur dengan cara yang tidak umum: membuat nazar tertentu. Tanggal 24 Februari lalu, kami merayakan ulang tahun perkawinan sekaligus ulang tahun Sisco putra kedua kami dengan 1 kue dan dua ucapan. Merayakan satunya, berarti merayakan yang lainnya.
Hari ini, 07 Maret saya berulang tahun kurang sejengkal lagi memasuki usia setengah abad. Seperti biasanya saya selalu tidak ingin merayakan dengan kue apapun. Apalagi lagi hari ini para agen Zurich yang tergabung dalam kelompok 13 di bawah mentor Ibu Elisabet Sumarah sebenarnya mengadakan pertemuan bersama untuk speed bareng biar lebih banter di Bale Ayu Resto. Saya tidak tahu apakah ini disengaja oleh Ibu Eli atau tidak, kok tanggalnya persis di hari ulang tahunku. Selepas menjemput yang kecil dari sekolah, saya langsung siap-siap berangkat untuk bergabung bersama Bu Elisabet Sumarah dan tim di Bale Resto. Tetapi apa yang terjadi?
Kurang lebih dua ratus meter dari rumah, ban sepeda motor saya tiba-tiba gembos, padahal baru dua hari lalu saya mengganti ban dalam baru. Saya lalu memompanya di tempat tambal ban terdekat. Tetapi belum jauh berjalan gembos lagi. Daripada saya kesulitan dan menderita di jalan, saya langsung mampir di bengkel terdekat dan mengganti keseluruhan ban belakang (ban Tubles). Hampir 45 menit kemudian jadi diganti. Saya tidak jadi meneruskan perjalanan ke Bale Ayu, tetapi kembali ke rumah. Saat sedang menunggu penggantian ban, saya teringat kembali. Inilah saat “sial” saya yang ketiga tepat di hari ulang tahun saya.
Dua kejadian sebelumnya malah tergolong lebih tragis. Kejadian pertama 07 Maret 2000 saat saya masih menjalankan tahun orientasi pastoral (TOP) sebagai seorang frater MSF di Madagascar. Hari itu, saya bersama pastor paroki Lorety di distrik Ambalavao, propinsi Fianarantsoa kami berdua hampir saja mengalami kecelakaan maut. Hujan yang deras membuat jalanan yang penuh tanah liat menjadi sulit bagi ban mobil untuk berputar. Akibatnya ban depan dan belakang hanya meluncur. Dan untungnya, puji Tuhan mobil menghantam dinding tebing bagian kiri. Kalau mobil meluncur ke kanan, maka akan langsung masuk jurang dan kisahnya bisa saja saya tidak merayakan ulang tahun hari ini.
Kejadian kedua, 07 Maret 2007. Saat itu saya ada keperluan di Komisi Seminari KWI. Saya ke Jakarta tanggal 5 sore dengan kereta. Tiba tanggal 6 lalu mengurus semua keperluan bersama Sekretaris Eksekutif Komisi Seminari (kala itu) Romo Bagus dari Keuskupan Denpasar. Saya menginap semalam di wisma unio dan tanggal 7 Maret rencana kembali ke Yogyakarta. Karena ada rejeki saya ingin tiba cepat di Yogyakarta dengan naik pesawat garuda pagi yang saat itu sedang promo. Namun entah karena apa, rencana itu tidak jadi tetapi saya malah membeli tiket kereta bisnis Jatinegara Yogyakarta. 10 menit perjalanan di atas kereta, saya baru sadar kalau tas saya berisi dua potong baju dan beberapa berkas dari komisi seminari sudah berpindah tangan. (maklum waktu itu, pedagang dan pengamen juga pencopet membaur dengan penumpang di dalam gerbong. Tidak seperti sekarang ini kala penumpang bisa duduk santai karena selain penumpang di larang naik dan masuk gerbong kereta). Saya lapor ke petugas kereta lalu saya diberi surat keterangan agar balik lagi ke jatinegara dengan KL. Balik ke Jatinegara hasilnya juga nihil. Lalu berbekal surat keterangan polisi, saya diperkenankan untuk menumpang kereta ekonomi ke Yogyakarta tanpa membeli tiket lagi. Ya, menghindari “sial” pertama (yang pesawatnya tergelincir dan terbakar di bandara sehingga menyebabkan 21 penumpang meninggal) saya justru mengalami sial kedua di kereta. Rencananya mau tiba di Yogyakarta pukul 16.00 malah jadi pukul 04.00 pagi dengan kereta ekonomi.
Kata orang sih kalau sedang berulang tahun tidak usah pergi ke mana-mana. Mungkin maksudnya biar di rumah saja sembari merenung atau berdoa syukur atas anugerah kehidupan yang Tuhan berikan.
Setelah kembali ke rumah, saya mendapatkan kejutan dari istri dan anak-anak. Mereka menyiapkan kue ulang tahun dan kami merayakannya bersama-sama. Kesialan di jalan terbayar dengan cinta dan perhatian dari anak-anak. Terima kasih untuk istriku dan anak-anakku tercinta. Tuhan masih sayang saya hari ini. Para leluhur masih melindungi sehingga hanya korbankan ban belakang motor dan melakukan pengeluaran yang tak diperlukan. Ya, lumayan banyak untuk membeli sebuah ban tubles baru (hehe, mestinya itu dipakai buat jajan bersama keluarga).
Tiga kejadian, di tiga kota berbeda dengan waktu yang berbeda pada tanggal yang sama (tanggal ultah) itu memang sesuatu banget. Kalau diibaratkan, sudah tiga cadangan jiwa saya yang dipakai bertepatan dengan hari “sial” justru di hari bahagia. Entah masih sisa berapa cadangan, saya tidak tahu. Biarlah itu menjadi rahasia Ilahi.
Jujur, awalnya saya agak keberatan untuk bergabung dengan tim 13 Abadi Setva Esther karena hampir 2,5 bulan berjalan, saya belum closing. Agak malu muka sih mau gabung, meski diminta oleh Ibu Elisabet Sumarah untuk tetap merapat. Oma (begitulah kami biasakan memanggil Ibu Eli agar kedua anak kami terbiasa dengan panggilan itu) saya minta maaf tidak jadi merapat ke Bale Ayu. Semoga ada hadiah ultah berupa closingan dari para sahabat yang pernah saya prospek atau edukasi tentang pentingnya sebuah proteksi diri (untuk berjaga-jaga kalau Tuhan memanggil kembali atau untuk mewaspadai kesialan fatal di jalanan, agar tidak membebani keluarga kelak.
Tak lupa, saya mengucapkan terima kasih banyak dan syukur melimpah untuk Tuhan yang masih memperkenankan saya menambah angka usia. Terima kasih untuk bapak dan mama yang kini menjadi pendoa bagiku dan keluarga dari surga sana. Terima kasih atas doa dari para sahabat dan kenalan. Tuhan memberkati segala kebaikan Anda. Terima kasih untuk Ibu Elisabet Sumarah dan tim di Zurich Topas Life (Setva Esther Yogyakarta) atas dukungan yang tiada henti agar terus berjuang jadi pemenang.
Terima kasih dan sayang tak terhingga untuk istri dan kedua anakku: cinta kalian menguatkan papa.