Oleh: Alfred B. Jogo Ena

Lima hari sudah berlalu sejak perjumpaanku siang itu dengan istri salah satu penyair nasional di ruang tunggu (untuk keluarga) di ICU sebuah rumah sakit. Itu perjumpaan pertama kami. Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Semuanya terjadi karena mandat dari teman-teman peserta kopdarnas Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias yang menitipkan tanda kasih untuk salah satu nara sumber kopdarnas yang tidak jadi hadir. Beliau harus “hadir” di tempat lain dalam keadaan yang tak sama lagi seperti ketika kata-katanya yang “berbisa” membius pembaca atau pendengarnya.

Pentingnya Diksi Yang Tepat Momen

“WA yang beredar tentang situasi suamiku sungguh membuatku mengelus dada. Apakah tidak ada kata yang lebih halus dari kata-kata yang dikeluarkan oleh seorang dokter? Saya paham, dokter harus menyampaikan bahasa medis secara apa adanya.” Kisah sang istri dengan mata berkaca-kaca tentang informasi yang disebarkan ke teman-teman suaminya.

Seorang istri (sekalipun suaminya seorang penyair yang jago memilih diksi untuk setiap pesan yang hendak diwartakan) tetaplah memiliki sisi manusiawi (tentu saya dan Anda juga demikian jika berada di posisinya) yang sensitif untuk menangkap makna kata.

Bagi seorang dokter, istilah medis gagal nafas itu biasa saja. Tidak demikian dengan suami, istri, anak atau keluarga pasien. Bagi orang awam dalam hal medis (seperti penulis) istilah gagal nafas sudah berkonotasi lain. Bagi seorang dokter, gagal nafas berarti tubuh tidak dapat menerima ke dalam dan mengeluarkannya dari dalam tubuh seseorang. Ada dua tipe gagal nafas. Gagal nafas tipe satu, kurangnya kadar oksigen dalam darah dan kadar CO2 normal atau sama-sama rendah. Gagal nafas tipe dua, kurangnya kadar oksigen dalam darah dan kadar CO2 dalam darahnya tinggi. Salah satu gejala gagal nafas yang paling sering dijumpai (meski tidak tahu istilah medisnya) adalah pingsan.

Saya sendiri (besama istri) pernah menyaksikan langsung ketika berkunjung ke seorang senior (kami biasa menyapanya Opa Salib Besar) yang sedang dalam proses pemulihan. “Mas, tolong dorong saya ke kamar, saya mau pingsan. Tolong segera pasangkan selang tabung gas begitu sampai kamar.” Opa sadar bahwa pasokan udara ke dalam dirinya sangat rendah dan ia mulai merasakan akan kehilangan kesadaran jika tidak segera ditangani. Itu pengalaman pertama saya menyaksikan bagaimana seseorang yang mau pingsan masih bisa tahu kalau dia akan pingsan. Tetap semangat Opa, biar kita berkisah lagi tentang tanah Papua, tanah kelahiran putra bungsu.

Bahasa teknis medis menjadi berterima manakala si penerima informasi tidak sedang dalam kondisi yang panik atau shock akibat situasi mendadak yang dialami oleh orang-orang terkasih. Alangkah menjadi lebih bisa diterima secara mental oleh keluarga jika beredar pesan demikian, “mohon bantuan doanya untuk saudara kita yang sedang dirawat di ruang intensif (ICU) tanpa harus dengan vulgar menyertakan kata-kata medis yang keluar dari mulut dokter.

Tidak ada yang salah dengan dukungan perhatian dan doa. Sebagai sesama itu malah suatu panggilan yang wajib dilakukan untuk mendoakan yang sedang sakit. Hanya pilihan kata yang mau kita sampaikan perlu bertoleransi dengan pihak-pihak yang belum siap menerima situasi mendadak demikian.

Bahasa Yang Berbela Rasa

Memang, menyampaikan sesuatu secara lugas dan transparan itu perlu tahu situasi dan kondisi. Tidak semua hal berterima dengan bahasa medis yang teknis dan taktis. Juga, tidak semua hal berterima dengan bahasa sastra yang puitis dan imajinatif (biarkan orang mencari makna dan pesannya sendiri). Seorang penyampai pesan (entahkah itu penulis atau pemberita: penyiar atau komentator) perlu mengasah kepekaan nurani untuk berbela rasa bukan dengan pasien atau korban tetapi terutama dengan orang-orang tercinta yang belum siap mendengar istilah medis yang begitu menghujam hati. Bahasa medis yang tanpa tedeng aling-aling bisa “memakan” korban baru dari keluarga yang tidak terima menyaksikan orang terkasihnya mendadak tak bisa apa-apa.

Selama hampir 45 menit kami bersama (dengan anak mantu dan cucunya) saya berusaha mendengarkan banyak kisah di sela canda dengan sang cucu yang saat itu asyik dengan pena dan buku gambarnya. Jika sang kakek ahli dalam menenun kata, tak pernah memaksa pembaca untuk tersinggung atau tersanjung, si cucu yang masih di Taman Bermain ini asyik dengan imajinasinya tentang ikan dan air.

Dan dengan dukungan banyak doa dan perhatian dari para sahabat, semoga sang pemenuh kebutuhan pembaca berupa kata yang kontekstual (dengan keadaan pembaca) beroleh mukjizat dari Allah sendiri. Seperti Phillipus (rasul) yang berkhotbah di Syria, Yunani dan Phrygia, sastrawan katolik yang terkenal dengan nama Jokpin (Joko Pinurbo) boleh sembuh kembali sehingga ia boleh menuliskan kami puisi tentang Natal yang tak lama lagi, disusul pemilu dan lebaran.

Doa kami menyertaimu, Mas Jokpin. Mari kita berpuisi lagi

Kaki Merapi, 18 November 2023, dini hari menjelang hari keenam perjumpaanku dengan Mbak Firmina, istri tercinta Mas Jokpin. Tetap kuat dan semangat dalam iman agar Mas Jokpin boleh kekuatan untuk bersama kita lagi.

Spread the love