Catatan dari Kopdarnas KPKDG dan Talk Show dengan Katolikana yang gagal (Bagian 2)
Oleh: Alfred B. Jogo Ena
“SEMACAM” KURIKULUM
Proses kreatif seorang penulis dari “kawal mama” ke kawal akal sehat, kawal kebiasaan rutin menulis menjadi sebuah kesetiaan membuat kita menjadi seorang penulis yang berbeda dan unik, yang menjawab kebutuhan pembaca sekaligus juga menjadikan kita sebagai saluran berkat. Kepekaan penulis yang didukung oleh kreativitas dan imajinasi tanpa bataslah yang akan mengawal seorang penulis untuk tetap setia menekuni apa yang sudah mulai, sedang dan terus dijalani hingga akhir. Sehingga hasilnya menjadi buah keabadian bagi pembaca dari generasi ke generasi.
Buah dari kopdarnas di Wisma Pojok telah turut menggiring semangat untuk berlari melalui salah satu pesertanya, Masboi alias Yohanes Widodo, salah seorang juru mudi media katolikana. Masboi berusaha membawa KPKDG semakin dikenal, bukan hanya namanya tetapi juga kiprahnya dalam dunia literasi bagi Gereja dan bangsa. Masboi dan tim memfasilitasi sebuah Talk Show dengan tema “Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias: Mewartakan Literasi Syukur.” Narasumber talk show adalah Dr. Tengsoe Tjahjono, salah satu pendiri KPKDG, Adrian Diarto, wakil koordinator kegiatan KPKDG yang baru, yang sebelumnya menjadi Koordinator kegiatan wilayah Yogyakata, Mas Anton Marhendra, ketua Seknas yang lama, dan Alfred B. Jogo Ena, salah satu editor atas semua buku yang diterbitkan KPKDG sebagai hasil pelatihan.
Talk show berjalan lancar sesuai dengan rencana. Tetapi itu untuk nara sumber yang lain, bukan untuk saya hehe. Puji syukur, apa yang disampaikan oleh teman sesuai dengan harapan dan isi dapur komunitas. Saya yang terkendala secara teknis (suara tidak bisa didengar oleh pihak lain meski sudah gonta ganti pakai HP dan laptop. Entahlah kesalahan teknis apa, yang pasti hingga usai saya cuma numpang tayang tanpa kata.
Sebuah pelatihan menulis tentu memiliki semacam kurikulum, panduan atau guidance yang menuntun para peserta mencapainya dengan lebih mudah (bukan memudahkan) dan gampang (bukan menggampangkan). Kami di KPKDG Yogyakarta sejak semula memang tidak memiliki panduan atau kurikulum yang paten tentang menulis. Semuanya mengalir saja sesuai dengan kebutuhan. Tetapi dari beberapa kali pelatihan yang kemudian menjadi buku, saya merumuskan beberapa hal berikut.
Pertama, dari Pelatihan di Rumah Pena yang “melahirkan” buku CUBITAN MESRA UNTUK GEREJA dan Pelatihan di tempat yang sama setahun berikutnya yang menghasilkan buku AYAT-AYAT DAHSYAT YANG MENGUBAH HIDUP Kumpulan Harta Karun Rohani disimpulkan bahwa langkah menulis yang paling awal (yang bisa membantu orang untuk mulai menulis) adalah menulis KRITIK dan REFLEKSI. Kritik lebih bersifat eksternal, keluar dari diri sendiri, sedangkan Refleksi lebih bersifat internal, introspeksi diiri, masuk ke dalam diri.
Karena secara psikologis orang lebih suka melihat dan menuding ke arah luar, ke pihak lain, maka dalam pelatihan pertama peserta diberi kesempatan untuk menyatakan aneka unek-unek, uda rasa bahkan solusi yang berkaitan dengan kehidupan menggereja (ceritanya, Gereja sedang menunggu penulis awam Katolik untuk memberi kontribusi pewartaan dengan menulis. Maka muncullah sebuah cubitan mesra (yang tidak sakit, karena belum tentu Gereja tersentuh dengan cuitan para penulis ini). Hasilnya tidak mengecewakan. Beberapa penulis yang sama sekali baru mulai menulis bisa menghasilkan tulisan yang layak dibaca (tentu setelah ada polesan editor ya, ini bukan pamer karena penulis yang jadi editornya hehe, promosi tidak dilarang sih).
Sebagaimana secara orang lebih mudah melontarkan kritik kepada pihak lain, penulis juga “dipancing” untuk berani mengungkapkan kritik dalam bentuk tulisan. Bentuknya bisa esai atau opini yang menampilkan sebuah persoalan, lalu bagaimana persoalan itu mesti diurai (biar tidak semakin kusut kali ya) dan menawarkan solusi. Seorang penulis yang kritikus mesti berani memberi solusi bukan menjadi bagian dari kerumitan persoalan atau menjadi beban baru). Penulis dan juga kritikus perlu tahu bahwa kritiknya harus solutif, bukan reflektif atau interogatif. Refleksi dan interogasi (diri) sifatnya lebih internal, menulis untuk pengembangan diri, menulis sebuah metanoia, perubahan diri. Itulah yang dilakukan dalam pelatihan kedua. Menulis Ayat-Ayat Dahsyat. Ayat kok dahsyat. Emang bikin hebohkah?
Setelah berlari-lari ke luar diri, kita diajak untuk terjun ke dalam diri, menulis refleksi untuk melihat apakah aku ini berguna bagi diri sendiri dan orang lain? Adakah sesuatu yang begitu memengaruhi saya sehingga saya layak merefleksikan diri dan membagikannya kepada sesama. Sejauhmana refleksi itu membantu kita untuk mengubah dan berubah diri?
Kalau kritik keluar selalu tampak lebih mudah, refleksi atau kritik diri, introspeksi diri selalu menjadi sesuatu yang sulit karena di sana ada proses penelanjangan diri agar diketahui oleh orang lain. Ada proses untuk “menggelar” tikar kerendahan hati biar berani berbaring di hadapan pembaca dan membiarkan pembaca “melemparkan” apapun pada kita. Refleksi mengandaikan adanya sebuah proses internalisasi pengalaman kejatuhan yang paling menyakitkan, bahkan kekelaman diri yang tidak siap disingkapkan kepada siapapun juga sebuah proses syukur yang melenting tinggi setelah kita BERDAMAI DENGAN DIRI, KITA MAMPU MENYEMBUHKAN LUKA BATIN atas sebab apapun sehingga kita semakin manusiawi kala melihat sesama manusia.
Berkat pelatihan kedua ini, banyak penulis yang akhirnya menemukan ROH DEO GRATIAS, SYUKUR BAGI TUHAN atas semua berkat yang diterimanya meski harus diolah melalui lembah yang penuh air mata hingga mencapai puncak yang penuh tawa bahagia dan syukur.
Singkatnya, bagian pertama dari kurikulum pelatihan menulis adalah melatih diri untuk MENUDING KE LUAR dan masuk untuk MENEBAH DADA apakah aku ini berkat yang bisa menjadi saluran sekaligus berkat bagi sesama?
Kedua, pelatihan menulis sastra (puisi atau cerpen). (bersambung ke bagian 3)