Oleh: Alfred B. Jogo Ena

“Buah dari permenungan adalah doa. Buah dari doa adalah iman. Buah dari iman dalah cinta. Buah dari cinta adalah pelayanan. Buah dari pelayanan adalah kedamaian” (Bunda Teresa dari Kalkuta)

Dalam bukunya Cinq Milliards D’Hommes Qui Se Font Peur, Robert de Montvalon menggambarkan betapa manusia dewasa ini dicengkam ketakutan. Manusia takut akan keber­adaannya di tengah gelombang kemajuan ilmu dan teknologi. Manusia takut akan kehadiran sesamanya yang setiap saat siap me­mangsanya, ketika mengalami kebuntuan dan keter­himpitan hidup. Manusia menjadi tidak bebas menjadi dirinya sendiri, apalagi menjadi makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan yang lain. Manusia berkembang dalam ‘kekerdilan’ makna kasih sayang. Manusia lalu membentengi diri, membangun menara-menara yang tertutup dengan dunia lain atas nama suku, ras, golongan dan agama. Manusia lalu mulai mem­bentengi diri dengan tafsir-tafsir kebenaran yang melihat sesama sebagai musuh yang harus dilawan atau dilenyapkan bersama. Kelompok atau agama lain merupakan musuh bersama yang tidak pantas hidup berdampingan secara damai.

Gambaran di atas seakan-akan menjadi nyata dewasa ini, ketika kita menyaksikan aneka tindak kekerasan bahkan pembunuhan terjadi di depan mata kita. Kita tidak bisa berkelit, manakala dehumanisasi kian mengancam dan nyata. Kita tidak bisa menghindari, betapa kasih, perhatian, cinta dan persaudaraan kian tererosi oleh egoisme dan sukuisme. Kita semakin terancam oleh bangkitnya kelompok-kelompok fundamental atas nama agama, sehingga menghalalkan segala cara untuk menjauhkan orang lain dari kelom­poknya. Selain itu, yang lebih sadis dan mengerikan adalah terjadinya pengucilan terhadap korban-korban penyakit HIV/AIDS dalam masyarakat.

Menghadapi kenyataan-kenyataan yang miris dan menyayat hati di atas, sebagai orang Kristiani kita perlu bertanya diri, dapatkah iman Kristiani memancarkan cahaya bagi hidup manusia (orang-orang yang sedang menderita) yang penuh kegelapan? Dapatkah iman kita membebaskan manusia dari kegelapan dan ketakutan batin akibat ulahnya sendiri? Dapatkah penderitaan mereka menjadi tebusan bagi kita semua? Iman kita adalah iman yang membebaskan, iman yang menye­lamat­kan, iman yang mampu meretas segala sekat ketakutan dan membangunnya dengan suasana yang ceria, damai, penuh kasih sayang. Iman yang mem­bebaskan ini mampu membawa kita pada kesaksian bahwa kita turut berpartisipasi dalam karya penebusan Sang Guru.

Yesus sendiri telah menegaskan kepada kita, “ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara kamu mengunjungi Aku. Sebab Aku berkata kepadamu sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku” (Mat 25:35-36, 45). Injil pada Hari Raya Kristus Raja Semesta tentang spiritualitas memberi.

Inilah suatu identifikasi empatis bersama mereka yang paling hina dan men­derita sebagai etika pelayanan kristiani yang berporos pada Kristus. Suatu pelayanan yang tidak membiarkan korban “terlempar” dalam kegersangan cinta dan kasih. Kiranya permenungan Bunda Teresa di atas meng­inspirasi kita untuk mengungkapkan doa-doa kita secara nyata. Doa yang bergema dalam kehidupan nyata adalah doa yang bertolak dari kehidupan itu sendiri. Doa yang indah hanya bisa diwujudkan dalam perbuatan kasih dan pelayanan kepada sesama. Berkat doa yang demikianlah, Bunda Teresa telah mampu melakukan perbuatan kasih terhadap ribuan umat manusia di Kalkuta, India. Doa telah memampukan Bunda Teresa menjadi bunda segala orang kecil, lemah, miskin dan tersingkir di Kalkuta dan seluruh dunia melalui putra-putri yang meneruskan karyanya dalam tarekat Misionaris Cinta Kasih.

Spread the love