Catatan dari Obrolan Bersama Teman
Oleh: Alfred B. Jogo Ena
Senja itu, ketika mentari mulai tak bersengat lagi, bersembunyi di balik jingganya cakrawala, saya bertandang ke Biara OCD di Jalan Kaliurang. Di sana saya berdiskusi dengan dua romo dan seorang ibu yang datang dari Wonogiri. Ada banyak hal yang melintas-lepas begitu saja dari obrolan kami. Hingga sang ibu menyatakan, “Bagi saya, yang paling sulit itu menerima.”
Menerima, sebuah kata yang paling sering kita dengar dan gunakan bersamaan dengan kata memberi. Menurut KBBI, kata menerima memiliki sepuluh arti. Menurut Tesaurus Bahasa Indonesia, ada 350 sinonim kata menerima. Menurut KBBI kata menerima diartikan dengan mendapat, menyambut, mengambil, membenarkan, menyetujui, mengesahkan, menganggap atau menderita sesuatu. Sedangkan menurut Tesaurus arti yang paling sinonim dari kata menerima adalah mewarisi, memperoleh, mendapat, menyetujui, meluluskan.
Lalu, dalam konteks percakapan kami kata menerima bisa diartikan secara internal dan eksternal. Tentu arti internal ini lebih berterima dengan arti psikologis tentang penerimaan diri (self acceptance). Menerima diri berkaitan dengan kesesuaian antara harapan, cita-cita dengan kenyataan. Ketika kita berharap mendapatkan situasi A dengan aneka faktor pendukung yang mumpuni, tetapi di luar kendali kita, yang terjadi justru situasi B. Mau menolak tapi sudah terjadi di depan mata, mau menerima tapi rasanya sesak di dada. Dalam waktu yang demikian cepat, kita harus memutuskan: menerima atau menolak (keduanya dengan catatan kakinya).
Ada aneka reaksi yang menyertai ketika kita berhadapan dengan pilihan: menerima dengan aneka pertimbangan atau menolak juga dengan aneka pertimbangan. Baik dan buruk sikap kita untuk menerima atau menolak akan bersifat subjektif dan aktual. Maksudnya tergantung pada diri kita dalam konteks situasi dan kondisi tertentu. Buyar atau tidak samanya harapan dan kenyataan bagi setiap orang berbeda cara mensikapinya. Ada yang langsung sakit karena shock, tak sempat menyiapkan cadangan sikap, ada yang biasa saja karena sudah memperkirakan kemungkinannya.
Kita sering mendengar istilah semakin banyak memberi akan semakin banyak pula menerima. Teman diskusi sore itu, termasuk pribadi yang amat gemar memberi dan menolong sesama. Apa yang dia berikan tentu terdorong oleh kerelaan untuk berbagi. Tetapi ternyata itu tidak berbanding lurus dengan sikapnya untuk menerima. Baginya yang paling sulit itu menerima. Tentu, menerima dengan konteks tertentu yang sangat subjektif.
Ada berbagai makna yang bisa dihidupi sekaligus menjiwai seseorang dalam menerima. Ada teman yang menderita sakit demikian lama, dengan aneka penyakit yang silih berganti, tetapi dia menerima dan menjalaninya sebagai sebuah salib yang mesti dipanggulnya. Jika dia menolak, sakit dan penyakit itu akan semakin menggerogoti fisik dan mentalnya. Dia menerima semua rasa sakit itu dalam iman dan keyakinan bahwa Tuhan pasti akan menolongnya. Namun ada teman lain ketika sakit menyalahkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Keluarga sering menjadi sasaran omelan. Apapun yang dilakukan untuk menolongnya tidak pernah benar di matanya. Bahkan Tuhan menjadi sasaran terakhir dari rasa frustasi dan penolakan atas rasa sakitnya.
Cara kita memandang sebuah kejadian atau persoalan amat menentukan cara kita menerima atau menolak sesuatu di dalam diri atau di luar diri. Tiap orang memiliki pengalaman dan cara yang berbeda, dan masing-masing bisa saling belajar. Kita hanya bisa membuka pintu hati agar orang lain atau sesuatu yang di luar diri bisa masuk.