(Alfred B. Jogo Ena)

6 Januari 1929, gadis keturuan Albania itu tiba di Kalkuta, India. Sejak saat itu, hampir selama 70 tahun, dia mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani mereka yang haus, yang lapar, yang telanjang, yang tak punya tempat meletakan kepala kala terik maupun dingin, yang tersingkirkan karena kemiskinan dan aneka ketidakadilan lainnya. Dia telah menjadi Ibu bagi Kalkuta, Ibu bagi India, Ibu bagi dunia hingga dia kembali ke Pangkuan Ilahi pada 5 September 1997.

Dialah Agnes Gonxha Bojaxhiu atau Maria Teresa, yang lebih terkenal dengan panggilan Muder/Bunda/Ibu Teresa dari Kalkuta. Ia segera mendapatkan kanonisasi tidak lama setelah kematiannya, dan digelari Santa oleh Paus Fransiskus pada 4 September 2016. Dunia memang kehilangan kehadiran fisik Ibu Teresa, tetapi dunia tidak pernah kehilangan kehadiran semangatnya. Ibu Teresa telah meninggalkan jejak cinta kasih ke seluruh dunia melalui Kongregasi Misionaris Cinta Kasih (the Missionaries of Charity, 1950), Misionaris Bruder Cinta Kasih (1963), Biarawati Kontemplatif (1976), Biarawan Kontemplatif (1979), Misionaris Imam Cinta Kasih (1984) yang telah tersebar melalui 160 yayasan, melayani di 123 negara dengan anggota lebih dari 4000 orang putra dan putri. Berkat keteladanannya, banyak orang terpanggil menjadi rekan sekerja (kerabat) Ibu Teresa untuk melayani mereka yang kehausan.

Spiritualitas “Aku Haus, I am Thirsty” (Yoh 19:28) sungguh menginspirasi Ibu Teresa untuk tak hentinya melangkahkan kakinya di lorong-lorong Kalkuta untuk menjangkau mereka yang haus akan cinta, menggendong mereka yang sekarat dan mendoakan mereka agar bisa meninggal dalam keadaan penuh rahmat (disemayamkan dan dimakamkan dengan pantas sebagai seorang manusia). Dengan spiritualitas “Aku Haus” Ibu Teresa terus memberikan cinta, bahkan memberi hingga terluka karena terus mendapatkan perlawanan dan penolakan.

Spiritualitas Aku Haus inilah yang menggerakkan ribuan orang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, khsususnya di Keuskupan Agung Semarang untuk melibatkan diri sebagai kerabat (co-worker) Ibu Teresa. Mereka terpanggil untuk melayani sepenuh hati dan cuma-cuma mereka yang termiskin dari antara orang miskin. “Aku mendengar panggilan Tuhan untuk meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Kristus ke tempat-tempat kumuh dan melayani Dia di dalam diri orang-orang termiskin dari kaum miskin.” Itulah panggilan yang mengubah seluruh perjalanan hidup dan pelayanan Ibu Teresa.

Cara Hidup dan Rohnya Menular

 Spiritualitas Aku Haus ini telah pula menggerakkan Ibu Lena. Sejak tahun tahun 1980-an, saat masih kuliah Lena sudah mengenal Ibu Teresa. Dia bahkan ikut menjadi perintis berdirinya KKIT di Semarang. Sebelumnya, secara nasional KKIT juga sudah hadir di Jakarta. Semangat Aku Haus begitu hidup dalam dirinya. Itulah yang diteladani dari Bunda Teresa.

Saat ditanya pengalaman iman yang paling mengesankan dari keterlibatannya dalam KKIT, ia menjawab, “Saat mulai bekerja di Semarang tahun 1990-an, setiap berhenti di traffic light Terboyo arah Sayung-Demak, saya melihat ada segerombolan anak usia sekolah menjual koran. Karena hampir tiap hari membeli (dari dalam mobil, sambil membuka jendela, saat lampu merah) terjadi komunikasi yang makin lama makin intens dan makin banyak yang saya kenal. Saya undang mereka untuk ke rumah saat bulan ramadhan untuk buka bersama. Saya tawarkan untuk membantu biaya pendidikan. Ada yang mau tetapi ada yang minta dibuatkan SIM dan tetap tidak mau melanjutkan sekolah. Sekian tahun berlanjut sampai mereka yang tadinya SD/SMP lulus SMA dan mulai bekerja. Yang mengesankan, mereka menjadikan saya sebagai Ibu. Ketika sepatu sekolah mereka rusak mereka tenteng ke kantor untuk dimintakan ganti, saat membayar SPP mereka melapor; dan puncaknya di hari Kartini mereka membawa surat “cinta”, yang isinya adalah ungkapan terima kasih dan cita-cita mereka.”

Apa yang dilakukan itu diakui belumlah sebanding dengan Ibu Teresa. Tetapi cara hidup dan roh/semangat yang Ibu Teresa sangat berpengaruh dalam hidup para anggota KKIT. “Cara yang Ibu Teresa hidupi sangat berpengaruh dalam hidup saya. Karena saya sendiri terlahir bukan dari keluarga berkecukupan, yang untuk kuliah pun saya harus dibantu pihak lain,” kisah Lena  ketika ditanya tentang pengaruh Ibu Teresa dalam hidupnya.

Kelompok Doa yang Hidup

KKIT bukanlah sebuah organisasi melainkan lebih sebagai sebuah keluarga, tempat para anggotanya memilih untuk lebih dekat dengan Tuhan dan lebih dekat satu sama lain melalui doa dan pelayanan kasih kepada kaum miskin. Bahkan dengan lebih tegas Ibu Teresa menginginkan Kerabat Kerjanya memelihara ikatan cinta kasih yang mendalam di dalam rumah mereka, selain mencari orang-orang yang membutuhkan bantuan. Ibu Teresa meminta agar kami mencari orang-orang yang membutuhkan diri kami dan mengenal mereka secara pribadi. Hanya dengan berkenalan secara pribadi kami dapat mengerti dan mencintai mereka. (https://www.indocell.net/yesaya/pustaka2/id79.htm)

Sebagai sebuah sel yang hidup, sebuah kelompok doa yang menjadi sebuah keluarga, maka keanggotaannya juga dinamis. Menurut Lena keanggotaan KKIT itu bersifat terbuka dengan tidak memandang status dan usia, tidak ada persyaratan yang mutlak yang harus dipenuhi bagi anggota baru yang tergabung dengan kelompok doa ini. Siapa saja yang tergugah untuk melayani mereka yang Kecil, Lemah, Miskin, Tersingkir dan Difabel (KLMTD) boleh ikut tergabung dalam kelompok ini, bahkan ada anggota yang beragama non Katolik.

Ibu Teresa meminta para Kerabat Kerja untuk melakukan perbuatan-perbuatan kecil, di mana orang lain tak mempunyai waktu untuk melakukannya. Ibu Teresa menganjurkan KKIT bertemu bersama secara teratur selama satu jam untuk berdoa dan meditasi dalam pertemuan doa bulanan. Ibu Teresa mengatakan: “Anda akan menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan lebih dekat satu dengan yang lain di dalam satu jam ini.”

“Sebulan sekali pertemuan doa, biasanya Sabtu kedua pukul 17.00-18.30 WIB. Awalnya di kapel Keuskupan Agung Semarang. Setelah endemi ini tempat berpindah di salah satu ruang di Kantor Pelayanan Pastoral KAS atau di rumah salah seorang anggota kerabat yang memang perlu dijenguk atau mendapat perhatian,” tulis Lena melalui WA kepada penulis.

Selain itu, “tidak ada kepengurusan yang formal dalam kelompok ini karena memang Kelompok ini hanya perkumpulan orang-orang yang meneladan Ibu Teresa. Setiap KKIT mempunyai seorang penghubung atau Koordinator yang berfungsi untuk memudahkan komunikasi dan informasi antar KKIT di daerah atau negara lain,” tulis Lena.

Doa: Kekuatan Menghadapi Hidup

Pada tahun 2000, penulis pernah menjadi pendamping KKIT Yogyakarta. Setiap Minggu keempat ada adorasi di Kapel ASMI Santa Maria, Bener, Sleman dilanjutkan dengan pendalaman dan sharing tentang spiritualitas Ibu Teresa. Setelah covid-19, Adorasi mulai dilaksanakan di Wisma Xaverian, Sawitsari, Condongcatur, Depok.

Kepasrahan Bunda Maria pada Penyelenggaraan Ilahi amat menginspirasi Ibu Teresa, juga para pengikutnya. Ketika itu ada anggota yang tampak sehat walafiat memeriksakan diri di rumah sakit dinyatakan mengidap Cancer stadium empat. “Jika Tuhan punya kehendak atas diriku, biarkan Dia yang mengatur semuanya.” Begitulah reaksinya ketika menerima vonis dokter, bahkan ketika menjalani pengobatan hingga ia kembali ke Pangkuan Ilahi dijalaninya dengan penuh iman. Ia tak panik, tak cemas apalagi mengutuk dan menyalahkan Tuhan.

Seperti Ibu Teresa yang pernah berkata, “Buah keheningan adalah doa. Buah doa adalah iman. Buah iman adalah cinta. Buah cinta adalah pelayanan. Buah pelayanan adalah damai,” para kerabat kerja memadukan hidup doa, iman, cinta dan pelayanan sebagai sebuah penyerahan pada kehendak Tuhan. Sebab bagi Ibu Teresa, “Doa adalah kekuatan yang membuat kita tetap bersemangat dalam menghadapi hidup.” Itulah semangat doa yang menjiwai seluruh gerak pelayanan kerabat kerja Ibu Teresa di mana saja.

Ada banyak cara pelayanan yang dikembangkan oleh kerabat kerja Ibu Teresa (Semarang) agar semangat menghayati buah doa yakni pelayanan tetap membara dalam diri anggota. Pertama, secara periodik (3-4 bulan sekali) berbagi dengan bapak sampah dan pemulung di depan Gereja Bongsari. Hal ini sudah berlangsung sejak tahun 2011. Dimulai dari buka bersama dan halal bihalal di pinggir kali (selokan) sebagai pintu masuk untuk dekat dengan mereka. Point yang ingin disampaikan di sini bukan sebagai sinterklas tetapi lebih pada sapaan dan wawanhati, mendengar celoteh dan uneg-uneg mereka lalu makan bersama. Kami tidak selalu memberikan barang tetapi lebih pada kebersamaan dengan duduk bersama di tikar di pinggiran kali atau di warung. Jumlah mereka sekitar 25 orang. Kedua, saat tertentu kami membantu panti asuhan atau panti jompo. Kebetulan ada panti jompo Wisma Rela Bhakti di Gedangan dan Genuk Semarang yang dikelola oleh seorang teman di KKIT Semarang, sejak perintisan awal sampai saat ini (meski mulai regenerasi kepengurusan). Panti ini khusus menerima orang terlantar tanpa sanak keluarga, yang terbuang dan dalam kondisi SAKIT, tanpa biaya.

Yogyakarta, 29 September 2024

(Dimuat dalam buku Rumpun Yang Merimbun, Profile Komunitas Kategorial Keuskupan Agung Semarang

Spread the love