Oleh: Alfred B. Jogo Ena

Sebuah Pengalaman Masa Kecil

Sebagai seorang cucu, saya tidak mengalami banyak waktu untuk tinggal dan hidup bersama kakek dan nenek, baik dari pihak bapak maupun dari pihak mama. Sehingga saya hampir tidak punya pengalaman kedekatan dengan kakek dan nenek yang bisa dibagikan kepada Anda. Meski demikian, saya hanya memiliki sedikit pengalaman kasih dari kakek dan nenek seorang teman saya. Pengalaman itu cukup membekas hingga sekarang.

Ketika masih duduk di kelas 1 SD saya ditinggalkan oleh orang tua yang bekerja di tempat lain. Saya dititipkan pada kakek nenek dan mama kecil (adik bapak), tetapi mereka lebih banyak di kebun. Lalu saya lebih sering pergi bermain dan menginap di tempat teman saya. Di tempat orang tua teman saya itu, ada seorang anak lelaki kecil (anak dari salah satu keponakan mereka, sebut saja namanya Yan). Yan yang telah berusia 5 tahun saat itu begitu dimanjakan melebihi anak bungsu mereka yang hampir seusia dengan Yan. Sejak seusia itu, Yan sudah dibimbing untuk mulai ikut berdoa malam sebelum tidur dan pagi setelah bangun. Di lain waktu ketika pulang dari sekolah, kakek terutama sang nenek langsung mencari si Yan kecil untuk bercerita tentang apa saja yang terjadi di kelas. Begitulah yang sering saya perhatikan ketika saya bermain bahkan bermalam bersama mereka.

Pengalaman itu terasa sangat indah, apalagi bagi seorang anak kecil yang sedang membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Pengalaman yang dialami Yan secara tanpa sadar mendorong saya untuk selalu datang dan datang lagi bermain dan bermalam di rumah mereka. Pengalaman kedekatan kakek dan nenek terhadap Yan itu sungguh mengesankan saya. Kesan itu tidak pertama-tama menyangkut kedekatan emosional antara kakek nenek dengan sang cucu, tetapi terutama menyangkut cara mereka berperan dalam kehidupan sang cucu. Namun pengalaman semacam ini tidak bisa mewakili bahwa para kakek dan nenek di Flores umumnya bertindak seperti yang dialami Yan. Banyak kakek dan nenek yang menaruh kepercayaan pada anak mereka yang sudah menikah untuk mendidik dan membesarkan cucu mereka. Memang harus diakui bahwa selalu ada kakek nenek yang overprotektif sehingga membuat sang cucu selalu “bersembunyi” di bawah ketiak mereka, tidak mandiri, lebih patuh pada mereka daripada pada orang tuanya. Ada juga yang menjadikan kakek dan nenek sebagai tempat pelarian untuk bersembunyi atau tempat pengaduan bila sedang terjadi konflik antara sang cucu dengan orang tuanya.

Kakek, Nenek Sebagai Jembatan Cucu dan Orang tua

Entah disadari atau tidak disadari oleh kita bahwa relasi kakek-nenek dan cucu bisa berpotensi menjadi relasi yang sehat atau juga bisa menjadi relasi yang tidak sehat. Pada umumnya, kakek-nenek tinggal bersama anak dan cucu; maka urusan menjaga anak lebih banyak diserahkan kepada kakek-nenek karena kesibukan orangtuanya. Memang tidak bisa dihindari situasi yang demikian, tetapi haruslah tetap diingat bahwa kakek-nenek selalu berkonsultasi dengan anaknya tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan. Sehingga jangan sampai terjadi kakek-nenek mengambil peran orang tua atas anaknya. Bila kakek-nenek tinggal bersama orang tua yang tidak mau mengurus dan tidak mau tahu tentang anak, maka haruslah tetap diupayakan untuk tetap berkonsultasi dengan orang tua agar keputusan mereka bagi sang cucu tetap sejalan dengan keputusan dan kehendak orang tuanya. Di sini, kakek nenek berperan sebagai orang tua bagi sang cucu (seperti yang dialami Yan).

Bila keadaan yang memaksa kakek nenek menjadi orang tua bagi sang cucu maka tetap memperhatikan beberapa hal berikut. Kakek nenek biasanya sangat sayang pada cucu. Tetapi kasih sayang itu tidak boleh menjadikan sang cucu manja dan tidak disiplin. Biasanya karena perasaan tidak tega kakek nenek membiarkan saja sang cucu berbuat apa saja, sehingga berkembanglah perilaku menyimpang sang cucu untuk tidak disiplin. Meski, kakek nenek bertindak sebagai orangtua, tetaplah disadari bahwa mereka bukanlah orang tua yang sesungguhnya. Hubungan mereka tetaplah sebagai kakek nenek dan cucu, sehingga peran orangtua tetaplah penting dan utama.

Dalam menerapkan pola dan kebiasaan membesarkan anak, kakek-nenek tetaplah harus berkonsultasi dengan orang tua, kecuali jika terjadi tindakan kekerasan dan pengabaian sang cucu oleh orang tuanya. Kakek dan nenek tetaplah berperan sebagai pendukung dalam memberikan kasih dan disiplin bagi sang cucu, tetapi tidaklah mengambilalih peran orang tuanya. Kasih dan perhatian yang diberikan oleh kakek nenek tetap kasih yang membebaskan sang cucu untuk menjadi dirinya sendiri, tidak membuat sang cucu begitu tergantung secara emosional pada mereka.

Bagaimanapun, kakek dan nenek bisa berperan sebagai sahabat yang setia bagi sang anak dalam membesarkan cucunya. Kakek nenek dapat menjadi jembatan emas (golden triangle) yang efektif bagi sang cucu untuk mengembangkan komunikasi yang harmonis dengan orangtuanya, lalu yang terutama dengan Tuhan. Kakek dan nenek berperan sebagai jembatan emas dalam menanamkan nilai-nilai moral dan iman seperti mencintai kehidupan dengan anti kekerasan.

Penanaman Nilai Moral sedini mungkin

Kakek dan nenek yang baik selalu berusaha mendidik dan menanamkan kebiasaan-kebiasaan positif dan religius pada cucu mereka untuk hidup rukun dan menolak kekerasan. Kebiasaan itu bisa berupa nasehat-nasehat bijak yang diberikan secara langsung atau melalui kisah-kisah kepahlawanan yang memuat pesan moral dan iman baik dari Kitab Suci, dongeng-dongeng tentang binatang, tumbuhan, atau tentang tokoh-tokoh yang ledendaris dalam kepercayaan masyarakat setempat.

Memang, berbagai kisah, cerita, dongeng yang disampaikan oleh kakek nenek kepada para cucu – biasanya menjelang tidur atau saat luang – berisi nasehat-nasehat moral dan iman yang sudah dikemas sehingga mudah dicerna dan mudah tertanam dalam sanubari. Dongeng yang selalu dikemas dengan pesan-pesan iman yang mudah ditangkap. Pesan moral yang paling sering disampaikan lebih berupa larangan-larangan (semacam 10 Perintah Allah). Dalam setiap kisah selalu diselipkan kata-kata imperatif negatif: jangan mencuri, jangan nakal, jangan menipu, jangan menginginkan milik orang lain, jangan berkelahi dengan sahabat, atau kata-kata yang lebih positif: tolonglah sesamamu seperti keluargamu sendiri supaya kita bisa hidup dan bergaul dengan sesama secara baik. Penanaman nilai-nilai kehidupan yang dilakukan sejak dini ini, pada saatnya nanti (ketika anak/cucu sudah besar) mereka akan mempraktekkannya. Budaya kehidupan menjadi lebih kuat dan memengaruhi keseharian mereka. Dengan demikian diharapkan mata rantai kekerasan dalam masyarakat bisa diputuskan oleh kuatnya pendidikan moral dalam keluarga (terutama melalui kakek dan nenek yang sering dititipi para cucu).

Spread the love