Oleh: Alfred B. Jogo Ena

“When you stand and share your story in
an empowering way, your story will heal
you, and your story will heal someone else.
When you tell your story, you free yourself
and give other people permission to
acknowledge their story.”—Iyanla Vanzan

Untuk yang kesekian kalinya saya menulis tentang tema ini: menulis untuk kesembuhan. Pengalaman ini bermula ketika pada tahun1994, dalam suatu kesempatan pengolahan diri dengan metode PRH (Personality and Human Relations (Kepribadian dan Relasi antar-Manusia) yang diberikan oleh Rm A. Tan Tiang Sing, MSF. Dalam suatu kesempatan kontemplasi, saya melihat diri saya ketika sedang dikandung mama saya. Tanpa saya minta, seakan semua memori sejak saya dalam kandungan ibu terpapar di hadapan saya.

Ini pengalaman pertama bagi saya. Saya memang pernah mendengar cerita-cerita yang menyertai masa kecil saya dari para Om dan Tanta. Tetapi cerita itu tidaklah lengkap sebelum saya mengalaminya sendiri dalam proses pencarian diri, sebuah proses untuk berdamai dengan masa lalu, dengan luka-luka batin yang mungkin masih membelenggu saya sebagai seorang novis.

Hasil kontemplasi itu saya tulis dan kirimkan ke mama dan bapak. Hampir sebulan selepas pengolahan diri itu, saya mendapat surat dari Bapak yang meminta saya untuk melupakan semua pengalaman luka yang saya lihat sejak masa dalam kandungan. Bapak meminta saya untuk memaafkan dan mengampuni masa lalu yang penuh luka itu.

Memang harus diakui pengolahan dan pengenalan diri semacam ini amat menyakitkan. Tetapi saya sungguh beruntung apa yang saya alami itu saya share dengan pembimbing saya. Saya diminta untuk selalu mendoakan orang-orang yang terlibat dalam kisah pilu masa lalu itu. Tetapi karena saya kurang fasih untuk bercakap-cakap dalam doa, saya lalu menuangkan kegalauan dan kepedihan hati itu dengan menulis entah itu doa atau puisi-puisi yang bernada positif. Tetapi yang terjadi masalah nada sedih dengan nasa dasar pilu terasa sangat kuat. Tidak masalah.

Saya terus berproses dalam waktu hingga suatu saat saya berdamai dengan diri sendiri dan menerima semua pengalaman kelam di masa-masa awal pra-natal sebagai sebuah kekuatan diri: bahwa tidak semua orang bisa mengalami seperti saya. Saya bangga memiliki mama saya yang dengan telaten sejak saya masih dalam kandungan telah membentuk saya menjadi pribadi yang tegar.

***

Setelah melewati dua puluhan tahun dari pengalaman pengolahan diri di Salatiga itu, saya menemukan dan meyakini (meski banyak orang melakukan yang sama) bahwa MENULIS menjadi salah satu media PENDAMAIAN dan PENYEMBUHAN luka batin. Jika akhir-akhir ini orang makin giat mengikuti metode hipnoterapi, maka saya bersyukur sudah mendahuluinya dengan cara yang sederhana, tanpa banyak biaya selain modal ketekunan dan keberanian untuk membuka, membelah diri sendiri, memberi obat dan menyembuhkan luka-luka itu.

Tepatlah yang dikatakan oleh Iyanla Vanzan: “Ketika Anda membagikan kisah Anda yang memberdayakan, kisah itu akan menyembuhkan Anda, dan kisah itu juga akan menyembuhkan orang lain. Ketika Anda menceritakan kisah Anda, Anda membebaskan diri Anda (dimasuki dan diketahui) dan memberikan izin kepada orang lain untuk membagikan kisah mereka juga.” Dengan menuliskan kisah kita, kita membebaskan orang lain untuk masuk dan mengetahui tentang diri kita. Dan dengan demikian, orang lain pun akan melakukan tindakan yang sama untuk menuliskan kisahnya dan membebaskan orang lain mengetahui tentang dirinya.

***

Proses ini seakan meringankan rintangan diri untuk MALAS membaca dan membaca serta menulis. Baca dua kali maksudnya seorang penulis hanya bisa menulis dengan baik jika ia terbiasa membaca dunia sekitar, membaca tulisan-tulisan orang lain. Semakin sering kita membaca, semakin terbukalah wawasan penulisan kita, termasuk menemukan gaya penulisan yang lebih mempribadi, sesuai dengan diri sendiri.

(Bersambung dengan judul Menulis itu Proses Kreatif)

Spread the love