Oleh: Alfred B. Jogo Ena

“Sahabat yang baik akan menyampaikan kebenaran pada sahabatnya, sekalipun yang disampaikan itu adalah hal-hal yang negatif” (ABJE).

Menyampaikan suatu kebenaran bukanlah hal yang gampang. Apalagi dalam era globalisasi dan persaingan bebas ini, kebenaran semakin mahal dan langka saja. Seiring dengan mahalnya peradaban manusia, semakin mahal pula nilai-nilai kebenaran. Lihatlah, betapa kebohohan dengan mudah diumbar di media massa baik cetak maupun elektronik. Lihatlah, betapa kebohongan dengan mudah diumbar oleh para pejabat publik yang seharusnya menjadi pelayan kebenaran. Lihatlah, kebohongan melanda “lembaga-lembaga birokrasi agama.” Lihatlah, kebohongan melanda para wakil rakyat, yang demi alasan pelayanan pada masyarakat dengan mudahnya menaikkan gaji dan rapelan bahkan menuntun pensiunan. Lihatlah kelakuan para pejabat pemerintahan yang koruptis dan nepotis sehingga jabatan publik pun bisa diwariskan kepada istri dan anak atau keluarga besar lainnya. Setelah suami jadi bupati, disusul istri lalu anak, dst. Lihatlah, kebohongan kian melanda dunia pendidikan, sehingga ada guru yang memperjual-belikan soal-soal ujian atau pejabat yang mengkorupsi dana bantuan operasional sekolah (BOS). Lihatlah, kebohongan kian melanda keluarga-keluarga, dan akibatnya anak-anak yang menjadi korban perceraian dan egoisme orang tua. Lihatlah, kebohongan melanda kaum muda, yang demi alasan cinta melakukan hubungan seks bebas. Akibatnya kasus aborsi di kalangan kaum muda semakin meningkat. Lihatlah banyak kasus kebohongan melanda hidup kita.


Seorang sahabat yang baik tentu tidak akan mengembangkan relasi yang penuh kebohongan dan kemunafikan. Sahabat yang baik akan menyampaikan kebenaran pada sahabatnya, sekalipun yang disampaikan itu adalah hal-hal yang negatif. Sahabat yang selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi sahabatnya, sekalipun rasanya “kecut” dan mengejutkan. Saya ingin menggambarkan bagaimana seorang sahabat berusaha menyampaikan kebenaran melalui puisi berikut.


Cinta yang memberi
Mencintai itu adalah saling memberi
Mencitai berarti membuat yang berarti
menjadikan seseorang berguna,
dihargai,
dihormati adanya,
membuat hidup terasa berbuah,
berisi
bermanfaat
membuat hidup terasa lebih hidup
manusia semakin manusiawi.
Dan…dalam saling memberi itu
kita menemukan Tuhan
Sebab Dia adalah Cinta yang memberi.
(Alfred B. Jogo Ena, Mahazoarivo, 10 Februari 1999).

Puisi tersebut saya rangkaikan ketika mendengar sebuah “curahan hati” (curhat) dari seorang rekan serumah asal Madagascar. Dia mengeluh bahwa setiap hari Jumat, saya dan teman asal Indonesia selalu ke KBRI di Anakely. Dalam kejujurannya, saya menangkap bahwa keluhan itu merupakan keluhan atas keluhan. Dia menyampaikan terus terang bahwa dengan sering pergi ke KBRI berarti kami belum bisa menerima mereka secara penuh. Menerima di sini bisa diartikan: dalam hal makanan, pergaulan, suasana dan terutama budaya mereka. Sejak keluhan teman itu, kami menjadi jarang bahkan hampir tidak pernah ke KBRI lagi sampai kembali ke Indonesia tahun 2000. Di sini saya ingin menyatakan bahwa, kejujuran seorang sahabat dalam menyampaikan sesuatu, akan sangat membantu kita dalam memperbaiki diri.

Sahabat yang jujur adalah sahabat yang peduli pada kita. Ia tak ragu mengatakan yang benar sekalipun terdengar menyakitkan. Kebenaran apapun, kalau disampaikan secara pribadi sangat membantu kita untuk membuka diri menuju perbaikan. Dan tidak berhenti pada perbaikan, tetapi perubahan yakni kita memulai untuk hidup secara baru pula. Itulah indahnya kebenaran yang disampaikan oleh seorang sahabat. (abje)

Spread the love