Relfeksi Tentang Pesta Kanak-Kanak Suci
Oleh: Alfred B. Jogo Ena
“Herodes menyuruh agar semua anak laki-laki di Betlehem dan sekitarnya dibunuh.”
Gila dan haus akan kekuasaan akan membuat penguasa menghalalkan segala cara agar kekuasaannya tetap langgeng. Kalau bisa dia menggenggam kekuasaan itu selama mungkin. Orang-orang yang berpotensi menjadi saingan. Begitu juga dengan Herodes, begitu dia mengetahui bahwa orang-orang Majus pulang lewat JALAN LAIN, dia menjadi sangat marah. Jalan lain yang dipilih ternyata “memakan” korban akibat kemarahan Herodes.
Kemarahan itu dipicu oleh ketakutannya bahwa Bayi yang baru lahir, yang diramalkan akan menjadi raja itu mengancam kekuasaannya. Maka dia memerintahkan untuk membunuh semua anak di bawah usia dua tahun. Dengan demikian, potensi yang mengancam kelanggengan kekuasaannya sudah dimatikan sejak awal.

Keganasan Herodes ini mengancam keselamatan Bayi Yesus. Maka atas petunjuk malaikat melalui mimpi, Santo Yosef membawa keluarga kecilnya mengungsi ke Mesir. “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibuNya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia” (Mat 2:13). Tentu situasi dan kondisi yang tidak mudah. Apalagi jarak antara Betlehem dan Mesir sangatlah jauh. Kalau kita ukur sekarang dengan bantuan google maps, jaraknya seperti Jakarta ke Bojonegoro di Jawa Timur. Kalau sekarang dengan adanya tol bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 9 jam, coba bayangkan zaman pengungsian Yosef dan keluarga kudus ke Mesir. Berapa lama waktu yang mereka butuhkan hanya dengan berjalan kaki dan tunggang keledai? Perjalanan yang amat berat, tetapi mereka harus taat pada perintah Tuhan agar dijauhkan dari tangan berdarah Herodes.
Perilaku kejam Herodes yang gila kekuasaan, selain membunuh banyak anak juga meniadakan kerahiman Allah dalam dirinya. Ia menjadi pemimpin yang tidak bijaksana hanya demi kekuasaan rela dan tega membunuh semua anak di bawah usia dua tahun. Kekuasaan yang bergelimah darah tidak akan pernah membuatnya tidur nyenyak, karena dalam setiap mimpinya ia akan selalu mendengar ratapan bayi-bayi tak berdosa.
Darah Martir Kanak-Kanak Masa Kini

Kekejaman Herodes ini rupanya terus dilestarikan oleh manusia-manusia zaman ini. Karena gila kekuasaan, perang saudara terus terjadi di negara-negara Afrika. Kelompok pemberontak terus melawan dan berusaha merebut kekuasaan pemerintahan yang sah. Akibatnya banyak anak yang terlantar dan kelaparan. Mereka yang bertikai tidak peduli dengan nasib rakyat, apalagi anak-anak. Mereka hanya pedulikan kursi kekuasaan.
Betapa dunia yang semakin menua ini kian melestarikan kekejaman demi kekejaman, kezaliman demi kezaliman hanya demi ambisi segelintir orang akan kekuasaan yang tidak akan pernah dia bawah mati. Itulah ambuigitas dalam diri manusia. Kehausan akan kekuasaan tidak dibarengi dengan kesadaran bahwa hidup dan matinya bukan di tangannya, tapi di tangan Pencipta.
Coba kita lihat kasus di Timur Tengah, ketika terjadi perang saudara di Suriah berapa ribu jiwa yang melayang sia-sia di tengah lautan lepas saat mereka sedang berusaha melarikan diri ke Eropa dan sekitarnya? Berapa ribu jiwa anak-anak yang harus kehilangan orang tua mereka? Atau yang terkini perang antara Rusia dan Ukraina. Berapa ribu anak yang harus kehilangan tempat tinggal dan orang tua mereka? Belum lagi kasus-kasus seperti aborsi dan pembunuhan anak-anak yang terjadi hampir setiap jam di seluruh dunia. Berapa ribu anak yang ditelantarkan tanpa kasih sayang, tanpa sandang, pangan dan papan yang layak? Berapa ribu anak yang dieksploitasi tenaganya untuk meminta-minta di lampu-lampu merah atau bahkan yang diperjual-belikan dalam perdagangan manusia?

Semoga dengan Pesta Kanak-Kanak Suci, martir ini, semakin menumbuhkan kesadaran kepada seluruh umat manusia untuk lebih menghormati harkat dan martabat manusia lebih dari apapun, termasuk dari kekuasaan yang hanya bertahan sepanjang tarikan nafas. Betapa zalim dan keji penguasa yang mementingkan kekuasaan dirinya dari pada harga manusia.
Mari kita berdoa untuk anak-anak yang ditelantarkan tanpa kasih sayang di seluruh dunia, agar mereka senantiasa mendapatkan perhatian dan cinta sebagaimana yang diberikan oleh Santa Teresa dari Kalkuta semasa hidupnya di Kalkuta, India.