Oleh: Alfred B. Jogo Ena
Hari ini Gereja memperingati Daud, Raja Israel yang terbesar, Santo Kaspar del Bufalo, Pendiri Kongregasi Misionaris Darah Mulia/ Congregatio Missionariorum Pretiosissimi Sanguinis (C.PP.S) dan Santo Thomas Becket dari Canterbury.

Daud, seorang anak gembala yang kemudian menjadi raja Israel berkat keperkasaannya mengalahkan Goliat. Ia begitu dicintai rakyat, sehingga membuatnya dimusuhi oleh Saul, Raja Israel yang berkuasa saat itu. Tetapi Yonathan putra Saul bersahabat akrab dengan Daud dan berusaha melindunginya dari upaya sang ayah untuk membunuh Daud. Jika bukan atas kehendak Allah, dia tidak mungkin menjadi raja sekaligus menjadi leluhur Yesus melalui Yosef.
Santo Kaspar/Gaspar del Bufalo lahir di Roma tahun 1786. Ia ditahbiskan menjadi imam tahun 1808 dan ketika Napeleon I menguasai Roma, Gaspar ditangkap dan dipenjara. Ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan melarikan diri dari Roma. Jika bukan kehendak Allah, dia sudah mati di tangan tentara Napoleon.

Berikutnya, Santo Thomas Becket dari Canterbury. Ia lahir di London pada 21 Desember 1118. Ia terkenal sangat cerdas sehingga menarik perhatian Theobaldus, Uskup Agung Canterbury yang kemudian menabiskan dia menjadi seorang diakon. Ia diberi banyak sekali tugas oleh sang uskup. Karena kepandaiannya juga, Thomas diangkat sebagai penasihat Raja Henry II yang bertugasa mendampingi raja hampir dalam segala urusan kerajaan. Dia mengundurkan diri dari semua tugas kerajaan setelah diangkat menjadi Uskup Agung Canterbury. Rupanya inilah menjadi awal perseteruannya dengan raja temasuk dengan para uskup yang pro raja. Akibatnya dia dibunuh oleh orang-orang suruhan Raja Henry II. Satu pesan iman yang dia tinggalkan adalah “Aku bersedia mati demi nama Yesus dan Gereja-Nya.” Jika bukan kehendak Tuhan, dia tidak akan memiliki kegigihan untuk mempertahankan imannya.

Tinggal dua hari kita akan mengakhiri tahun 2022 ini dan akan memasuki tahun baru 2023. Ada banyak peristiwa dan pengalaman iman yang kita alami sepanjang tahun 2022 ini, khususnya ketika kita sedang berjuang untuk bangkit kembali dari keterpurukan akibat pandemi covid-19. Ada perstiwa jatuh dan bangun, sukses dan gagal, untung dan buntung, ada peristiwa kehilangan orang yang kita kasihi, juga ada peristiwa kehadiran anggota baru dalam rumah tangga kita. Semuanya kita terima dan jalani dengan penuh syukur atas penyertaan Allah sendiri. Sebagai umat beriman, kita menyadari bahwa apapun yang kita alami, semuanya karena kehendak Tuhan yang mahacinta.
Kami para mantan misionaris keluarga kudus, entah yang masih postulan, frater novis dan skolastikat maupun imam pada 19-20 November lalu mengadakan reuni akbar dengan tema, “Ubi Amici Ibi Opes,” Di Mana Ada Persahabatan, Di Situ Ada Kekayaan/Kekuatan/Sinergitas.” Pada kesempatan itu, banyak sahabat dari berbagai angkatan dipersatukan oleh kerinduan dalam semangat keluarga kudus, semangat menjangkau yang jauh/terpisah sebagaimana dimaksudkan oleh Pater JB Berthier, pendiri MSF. Dalam kerinduan untuk bertemu itu, terpancar solidaritas sebagai satu keluarga dalam semangat yang sama: semangat untuk mengumpulkan balung pisah, mengumpulkan tulang-tulang yang berserakan agar menjadi satu kesatuan yang saling meneguhkan.
***

Kita seringkali merasa pesimis, merasa tidak mampu (can’t). Tapi kita lupa bahwa huruf T pada kata NOT sesungguhnya bisa kita ubah menjadi Salib. Dan di dalam dan dengan SALIB, tidak ada yang tidak mungkin bagi kita. Karena kita percaya bahwa dengan Salib kita mampu mengatasi semua ketakutan kita, terutama akan masa depan kita yang tidak jelas, akan sesuatu yang tidak pasti, akan kegagalan dan kejatuhan yang pernah kita alami. Kita lupa bahwa dengan dan bersama Salib Yesus kita ditinggikan dari manusia yang dikuasai kegelapan dan maut, dari ketakutan kepada terang dan kehidupan yang penuh harapan.
Semoga tahun 2022 yang akan kita akhiri membawa kita pada keyakinan bahwa “Jika Tuhan sudah berkehendak, siapa dapat bertahan?” Dan semoga tahun 2023 membawa harapan baru bagi kita untuk semakin Katolik dan Semakin Apostolik.