Oleh: Alfred B. Jogo Ena

#BhinnekaTunggalIka

#tahunpolitik

Sesuatu yang indah atau jelek, baik atau buruk yang berada di luar diri kita sangat bergantung pada “kaca mata” yang kita pakai. Saat kita sedang memakai kaca mata hitam, semua akan tampak hitam. Kalau pakai kaca mata merah, semua akan tampak merah. Itulah yang kita sebut dengan cara pandang (point of view/POV).

Jika kita terbiasa dengan POV yang negatif, maka cara berpikir dan hasil yang diperoleh juga negatif. Sebaliknya dengan POV yang positif, hasilnya tentu positif. Satu objek bisa menghasilkan dua cara pandang (seperti pada gambar yang ada di samping ini). Atau pandang tentang BABI yang seringkali menjadi heboh di negara ini. Semua itu berawal dari sudut pandang yang kita pakai. Apakah itu sudut pandang agama, sosial dan budaya untuk melihat seekor babi. Bagi para pencinta Babi, sudut pandang menjadi tidak penting, selama kepentingannya yang berkaitan dengan babi tidak dibatasi atau dikebiri dengan dan demi alasan apapun. Cara hidup yang indah hanya bisa terjadi kalau segala sesuatu ditempatkan pada tempat dan waktunya. Tidak semua hal dipandang dalam kacamata agama, begitu juga lainnya. Dalam hidup bersama sebagai bangsa yang majemuk, kita dituntut untuk tidak memaksakan POV kita untuk ditaati dan dilakukan oleh orang lain. Jalan tengah yang sering ditawarkan adalah tepo saliro dan toleransi. Tetapi sebagai bangsa yang sudah sekita puluh tahun merdeka, kita sudah mengedepankan tepo saliro, tenggangrasa dan toleransi?

Seorang penulis memiliki POV tertentu untuk mengungkapkan maksud dan tujuannya menulis. Seorang fotografer memiliki POV yang berbeda dari fotografer lain bahkan terhadap suatu objek yang sama. POV ini menentukan hasil akhir yang diberikan. Begitu juga dengan POV kita sebagai pembaca, pengamat atau penikmat apapun (pemandangan, kehadiran orang lain, dll).

Bagi seorang David Bennet (dari AS) dan seluruh tim dokternya, seekor babi adalah pahlawan bagi kehidupannya (https://www.kompas.com/…/tak-ingin-meninggal-dunia-pria…). Bagi orang-orang Flores babi selain peliharaan yang akan mendatangkan banyak uang dan gisi juga menjadi tanda “persaudaraan” alat tukar sebagai hutang antar anggota keluarga atau suku atau juga tetangga. Tetapi bagi orang lain babi adalah binatang yang menjijikkan, menakutkan bahkan najis. Penilaian dan hasil penilaian itu selalu subjektif. Dan itu sah-sah saja. Begitu juga dengan benda-benda atau hal lain yang kita lihat dan kita nilai, semua tergantung dari cara kita memaknainya mulai dari konsep yang kita terima dan pahami sebelumnya (dalam kepala kita).

Sebagai masyarakat yang plural, perbedaan di Indonesia bisa menjadi berkat dan malapetaka, semuanya tergantung cara kita memaknai arti perbedaan itu sendiri. Tak lama lagi kita akan memasuki tahun politik, tahun yang kalau tidak disikapi dengan bijak dan tenggangrasa maka kita akan masuk ke dalam suasana kacau, penuh curiga bahkan pertikaian sosial yang tajam. Para pemimpin partai politik, para politisi yang akan bersaing dalam pemilu, hendaknya tidak memaksakan janji-janji kepada rakyat jika setelah terpilih nanti Anda tidak bisa melaksanakan apa yang dijanjikan saat kampanye itu. Juga, jangan sampai demi mencapai ambisi politisnya, rela mengorbankan persatuan dan kesatuan bangsa. Jangan sampai demi ambisi kita menjual “ayat-ayat agama” kita agar memuluskan ambisi kita dan mengorbankan rakyat yang tidak sepaham dengan kita.

Spread the love