(In Memorial Mgr Vincentius Potokota)

Berita kepergian untuk selamanya Uskup Keuskupan Agung Ende (KAE), Mgr Vincentius Sensi Potokota di RS Sint Carolus Jakarta, pada 19 November 2023 pukul 18.21 WIB (19.21 WITA) amat mengejutkan kita semua yang mengenal Beliau, khususnya umat di KAE. Meski kita sudah mendengar kabar sakitnya, namun kepergiannya untuk selamanya meninggalkan duka yang mendalam. Betapa tidak, Uskup yang murah senyum ini akhirnya menyerah kepada Kuasa Sang Pemilik Kehidupan.  

Gereja Keluarga Kudus Maghilewa, sebelum pindah ke lokasi Gereja Paroki yang sekarang di Ruto

Di WAG alsemat nusantara (alumni Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu lintas generasi) saban hari selalu ada info perkembangan kesehatan Bapa Uskup. Terlintas banyak ucapan doa dan nazar yang diujubkan untuk kesembuhan sang gembala KAE yang meliputi tiga Kabupaten: Ende, Ngada dan Nagekeo. Segala upaya dilakukan agar sang gembala yang murah senyum itu bisa sembuh dan kembali hadir di tengah imam dan umatnya. Tapi apa daya, manusia berusaha Tuhanlah yang menentukan. “Tuhan yang memberi, Tuhan jualah yang mengambil. Pujilah NamaNya.”

Kembali saya mengingat moment perjumpaan bersama Bapa Uskup ketika merayakan 50 tahun gedung gereja Santo Martinus Ruto (Inerie, Ngada) Agustus 2017. Perjumpaan yang amat mengesankan sejak sore hari menjelang hari pesta hingga siang saat pesta umat yang amat luar biasa meriah dan sukacita itu. Saya kutipkan kembali tulisan Bapa Uskup dalam buku Paroki Santo Ruto dari Masa ke Masa.

Tulisan ini sengaja saya angkat kembali untuk memantik semangat dan komitmen umat dalam menjalankan amanat/pesan yang ditinggalkan oleh Bapa Uskup. Meski ini lingkupnya Parokial (Ruto) tetapi semangat pesannya amat global (Keuskupan Agung Ende).

 “Di tahun 2014, persisnya pada 26 Desember saya merasa amat terberkati karena boleh menginjakkan kaki dan menimba aura jejak-jejak kaki para misionaris SVD, pada sisa puing-puing suatu pusat pelayanan misi rintisan yang spektakuler, yang dikenal sebagai Stasi Maghilewa. Ia bertengger memesona di lereng Gunung Inerie, dengan struktur kampung tradisional yang amat indah dan mem­bangkitkan cita rasa sakral bagi pengunjung dengan naluri pengamat dan pencari nilai-nilai hidup yang sejati.

Ternyata dari ketinggian Stasi Maghilewa inilah, mata elang para misionaris telah melototi dan membidik serta merancang langkah-langkah misioner ke seluruh kawasan pelayanan baru. Narasi sejarah misi menyebut suatu wilayah yang terbentang dari Delawawi/Sewowoto di bagian Timur sampai Combos/Teni-Lopijo di bagian Barat adalah kawasan potensial dengan tuaian yang melimpah.

Saat ini memang terkesan Maghilewa ditinggal sepi, tetapi sesungguhnya dari sisa-sisa puing misi pelayanan bersejarah di ketinggian lereng Inerie itulah awal bagi makna usia Emas Paroki Ruto yang hendak kita syukuri di akhir Agustus 2017.

Hemat saya, salah satu cara yang pantas untuk bersyukur ialah ketika ada ekspresi-ekspresi nyata rasa hormat, untuk menghargai sejarah yang telah meracik bentuk bangun berusia emas dari Paroki Santo Martinus Ruto apa adanya sekarang ini. Kalau Paroki Ruto yang dibanggakan, ini adalah rahmat dan berkat yang dikaruniakan Allah, melalui jejak-jejak misi dan evangelisasi Gereja sepanjang 50 tahun. Maka narasi ulang-tutur dan ikhtiar baru langkah lanjut dengan tekad dan komitmen misioner untuk lebih menggebu dan kreatif-inovatif ke depan harus amat mewarnai pesta syukur ini.

Saya tentu amat menghargai semua bentuk rasa syukur umat yang didesain untuk mewarnai pesta syukur kita. Kontri­busi apapun dari dan dalam segala aspeknya demi penyeleng­garaan yang sukses, kiranya dipahami sebagai bagian dari ikhtiar militan Kristiani untuk mengukir lanjut wajah paroki kita ini dengan pernak-pernik yang semakin berbobot pada dekade perkembangan berikutnya. Ujung-ujungnya Paroki Santo Martinus Ruto ke depan ada di pundak tanggung jawab generasi ini dan generasi-generasi yang akan datang. Karena itu setiap anggota persekutuan paroki ini, tanpa kekecualian, harus termotivasi dengan kuat mencanangkan komitmennya untuk menjadi bagian yang aktif memastikan paroki ini makin kokoh tertancap di bumi Ruto ini, sebagai wajah nyata kerahiman dan belas kasihan Allah yang tak meng­­hendaki seorang dari kita putra-putrinya hilang dan binasa. Momentum pesta syukur emas ini, kiranya mengo­kohkan batu pijak iman kita untuk meyakini bahwa Allah Tuhan yang kita imani amat mengandalkan partisipasi ikhlas kita semua untuk bahu membahu, bergandengan tangan dengan kompak bersaudara mengibarkan terus bendera berkat keselamatan Kerajaan Allah di bumi ini.”

Tulisan Bapa Uskup berjudul Membidik dari Ketinggian Maghilewa Menancap Kokoh di Pesisir Ruto amat kontekstual dengan pesan yang amat evokatif. Maghilewa, tempat rumah Tuhan pertama kali dibangun seratus tahun yang lalu jaraknya mungkin hanya “sepelemparan” batu dari Gunung Inerie. Maka tepatlah yang digambarkan Bapa Uskup Membidik dari Ketinggian untuk melihat betapa luasnya ladang penggembalaan umat di sepanjang pesisir mulai dari Waebela sampai ke Paupapa. Menancap kokoh mengisyaratkan bahwa gerak pastoral di pesisir tidak mudah terombang ambil oleh angin dan gelombang (pasang dan surut).

Saya ingat saat kita makan siang di Pastoran sambil menanti waktu pemotongan kerbau, Bapa tidak mau diperlakukan istimewa. Bapa mau makan seperti para Romo yang lain. Memegang wati (tempat makan dari daun lontar) sambil menunggu tukang bagi nasi dan daging. Bapa Uskup begitu ceria mendengarkan guyonan para imam sambil makan dan minum sedikit dan sekali saja tuak dari gelas tempurung. Keceriaan umat yang menari?jai dengan diiringi gong dan gendang melebur dalam sapa dan senyummu seusai makan. Umat merasakan gembalanya yang tidak berjarak, tangan bisa mudah menggapai umat dan meneguhkan rasa bahagia mereka.

Terima kasih Bapa Uskup, catatanmu sekian tahun silam masih amat relevan bagi umatmu di pesisir selatan dan utara Ngada, Nagekeo dan Ende. Semoga dari ketinggian Surga engkau terus mendoakan dan memberkati umatmu agar iman kami makin kokoh dalam menghadapi derap zaman yang kian kecang menerpa.

Bapa Uskup yang amat kita cintai telah kembali ke Rumah Bapa. Tetapi semangat pastoral, semangat penggembalaannya teruslah hidup (dan kita hidupi) di dalam diri umat dan para imam yang amat dia cintai. Kini, engkau sudah bertemu dengan teman kelasmu Clemens Kolo dan Vitalis Ranggawea. Semoga reuni Bapa bertiga dan teman lainnya menjadi berkah bagi kami.

Spread the love