(In loving memory: Om Noe)
Oleh: Alfred B. Jogo Ena
“Mas minta tolong, apakah buku ini bisa diterbitkan di tempat Mas?” Demikian sapanya lewat WA beberapa minggu setelah kami mengadakan pelatihan menulis Ayat-ayat Dahsyat Yang Mengubah Hidup.
“Siap Om, dengan senang hati, akan saya setting untuk buat perkiraan harga sesuai dengan jumlah cetak yang Om kehendaki,” balas saya.
Saya biasa menyapanya Om sejak kami jumpa pertama di Kopdarnas KPKDG di Ambarawa tahun 2016. Om Noe sangat gesit dan suka menyanyi. Bahkan saat misa dia yang bertugas sebagai dirigen dibantu Mbak Tantrini sebagai organis dengan tim koor utama teman-teman dari Semarang dan Salatiga.
Om Noe mengirimkan naskahnya yang sudah dikasih Kata Pengantar oleh Pak Tengsoe Tjahjono. Menurut Pak Tengsoe, yang menulis Kata Pengantar itu dari Seoul, Korea Selatan pada 5 November 2016, Puisi-puisi Om Noe LUGAS NAMUN BERNAS. Saya lalu setting naskah tersebut sambil edit. Di halaman 4 tertera rencana terbit tanggal 1 Februari 2017. Dalam waktu hanya dua minggu naskahnya selesai disetting lalu saya kirimkan dummy ke Om Noe.
Lama tak ada kabar berita tentang naskah itu. Tahu-tahu suatu siang saya menerima kiriman buku SAJAK DARI LACI dengan nama penerbit lain. Pengalaman semacam ini bukan hal baru bagi saya (mungkin juga penerbit pada umumnya). Bahkan pernah ada penulis yang konsultasi penulisan dengan saya tetapi ketika tulisannya jadi diambil dan dicetak teman lain. Itu biasa. Dan melayani itu tidak mengikat orang harus di tempat kita. Sebagai seorang editor dan penulis, melihat teman lain menerbitkan buku entah di penerbit mana saja, saya selalu merasa gembira, satu penulis muncul, satu pewarta baru hadir, satu corong suara Kristus, suara Kebenaran hadir. Dan jika pernah berhubungan secara pribadi atas terjadinya buku itu, saya bahagia dan merasa misi Bajawa Press Menjangkau Sebanyak Mungkin Orang Melalui Buku telah sukses.
Saya senang, meski buku itu akhirnya terbit di tempat lain, dalam pengantar penulis Om Noe masih menyebutkan nama saya. Pada halaman 16 dummy Om Noe menulis, “….Pada saat yang bersamaan saya juga bertemu dengan Alfred B. Jogo Ena yang membuka stand untuk buku-buku penerbitannya. Dari
omong-omong dengannya, saya memperoleh kesimpulan bahwa menerbitkan buku mungkin saja dan arus dicoba.”
Lalu pada halaman 17, Om Noe menulis: “Bulan November 2016, saya mengikuti pertemua
KPKDG di Yogyakarta yang dikomandani oleh Budi Sarjono. Pada hari yang hampir bersamaan, saya menerima e-maildari Tengsoe Tjahjono untuk pengantar naskah saya. Di Jogyakarta selain saya mengikuti pelatihan menulis cerpen (yang akan diterbitkan sebagai antologi), saya tawarkan naskah saya kepada Alfred B. Jogo Ena, dan saya mendapatkan respon yang positif. Saya berjanji akan mengirimkan kepadanya setelah sketsa-sketsa puisi saya lengkapi.”
Saya mengucapkan profisiat dan senang atas buku Om Noe. Sejak pertemuan di pelatihan di Rumah Pena di Jalan Pangkur Condongcatur, November 2106 saya belum berjumpa lagi hingga Om kembali ke Rumah Bapa pada hari ini, 20 November 2023. Kami tetap berteman baik, saling bertukar sapa, menanyakan kabar bahkan saling support untuk terus merayakan syukur sebagaimana yang dicita-citakan oleh KPK Deo Gratias.
Benar kata Pak Tengsoe, puisi-puisi Om Noe memang lugas dan bernas. Berikut cuplikan puisi Sajak Dari Laci yang menjadi judul buku Antologi Puisi Om Noe itu. Uniknya sajak ini ditempatkan kedua dari akhir atau puisi ke-60 dari 61 puisi yang ada dalam buku itu
SAJAK DARI LACI
Dari Laci
Keras bercampur pena dan kunci
Onggokan pikiran jadi ragi
Jika tak dibuang, kapan mau pergi?
Kemarau rindu derai nafasku
Menggayut lalang di gurun bambu
Nada seruling tak begitu merdu
Lalu mengapa pikiran dan kata-kata?
Kadang-kadang menjadi makna
Kadang-kadang enggak juga
Lalu mengapa pikiran dan kata-kata?
Kadang-kadang menjadi makna
Kadang-kadang enggak juga
Setumpuk kertas bertulis sepi
Dikemas lagi dalam mimpi
Jadi setumpuk puisi
Penanda hari ini***
Agustus 2016-60
Puisi ini diksinya indah dengan sebuah akhir yang sangat menggugah, “Setumpuk kertas bertulis sepi/Dikemas lagi dalam mimpi/Jadi setumpuk puisi//. Bahwa sebuah puisi itu bukan hanya kata, tetapi sebuah mimpi yang direfleksikan (dikemas dalam sepi). Kata-kata yang menjadi puisi selalu berupa sebuah refleksi atas pergulatan juga mimpi yang bisa jadi kenyataan.
Betapa Om Noe amat mencintai KPKDG, bahkan dalam kopdarnas terakhir 11-12 November 2023 di Wisma Pojok Indah Yogyakarta, Om Noe berencana ikut juga. Tetapi rupanya itu menjadi rencananya yang terakhir untuk ikut (tetapi menjadi sebuah pamitan yang tak kesampaian). Om Noe membawa rasa syukur sebagaimana yang pernah digambarkannya dengan indah dalam puisinya berikut.
DEO GRATIAS
Dalam Doa Syukur Agung
Imam berharap Tuhan menyertai kita
Kita setuju untuk sekarang dan selamanya
Marilah sekarang menghadap Tuhan
Dan hati kita telah siap pula
Marilah bersyukur padaNya
Memang sudah layak dan sepantasnya
Memang sudah selayaknya
Kata-kata jadi makna
Paling tidak sebagai penanda
Bunyi hati ungkapan jiwa
Jika boleh menyapa sesama
Menjawab panjangnya usia. ***
(Inspirasi: Doa Syukur Agung)
Agustus 2016 -61
Akhirnya, selamat kembali Rumah Bapa ya Om Noe, teruslah bernyanyi dan berpuisi bagi kami dari dunia sana untuk kami. Semangat Deo Gratias-mu akan terus kami lanjutkan. RIP Om Fransiskus Xaverius Iskandar Nugroho A.P. Doakan kami.