Catatan dari Kopdarnas KPKDG dan Talk Show dengan Katolikana yang gagal (Bagian 4)

Oleh: Alfred B. Jogo Ena

Pulang dari mengikuti TEPAS (Temu Pastoral) Kevikepan Kategorial Keuskupan Agung Semarang dengan tema: “Tinggal dalam Kristus dan Berbuah, Berjalan Bersama untuk Formatio Iman Berjenjang dan Berkelanjutan” sekaligus launching Buku “RUMPUN YANG MERIMBUN Profil Komunitas Kevikepan Kategorial KAS” yang ditulis dalam bentuk feature, saya melanjutkan catatan dari Kopdarnas keempat berikut ini:

Point penting yang bisa diringkaskan untuk pelatihan menulis cerpen adalah setiap penulis melatih dirinya untuk mempertajam intuisi penulisan yang cocok dengan dirinya. Karena itulah yang akan membantu penulis menemukan kekuatan dan karakter tulisannya. Seperti Joko Pinurbo yang dengan amat jeli menerjemahkan bahasa Kitab Suci ke dalam bahasa keseharian dengan amat sederhana dan itu menjawab apa yang dibutuhkan pembaca. Atau seperti Tengsoe Tjahjono yang menjawab kebutuhan orang modern dengan menulis cerita pendek hanya dalam tiga paragraf. Bagi orang super sibuk dan serba android, tulisan tiga paragraf tidaklah menyita banyak waktu mereka. Setelah pentigraf, Pak Tengsoe mengembangkan Puisi Tiga yang terdiri dari Puisi Tiga Baris (putibar), Puisi Tiga Bait (putiba) dan Cerita Tiga Kalimat (tatika). Keempatnya berjalan seiring dengan meningkatnya jumlah penulis yang tergabung dalam aneka antologi. Pilihan untuk terjun dan menekuni sastra terbuka lebar melalui para sastrawan nasional.

Keempat, pelatihan menulis Cerita/Kisah Inspiratif. Seperti pada pelatihan sebelumnya. Pelatihan kali ini diawali dengan bedah buku Proses Kreatif Dalam Menulis Aneka Pengalaman Mengatasi Kesulitan oleh St. Kartono. Dengan gayanya yang sangat energik (guru yang selalu berusaha untuk berdiri ketika sedang berbicara) Pak St Kartono memberikan apresiasi atas upaya yang dilakukan oleh para penulis melalui buku ini.

Acara bedah buku semacam ini yang dilakukan untuk mengawali setiap pelatihan dengan tema yang baru, selalu menjadi sebuah motivasi yang transparan agar para penulis terus bergerak dan ambil posisi: menulis, menulis dan menulis. Inilah trilogi penulisan yang jika gagal pada langkap pertama maka akan diulang di langkah kedua. Jika gagal lagi, melangkah lagi. Lalu jika sudah sampai pada langkah ketiga, maka kembali ke langkah pertama. Begitulah seterusnya sampai seseorang menjadi seorang penulis. Tentu pengalaman tiap penulis berbeda, namun roh yang memotivasinya sama: menulis untuk mewartakan syukur. Mewartakan melalui menulis. Jelas siklusnya.

Pelatihan menulis cerita inspiratif ini berangkat dari keprihatinan akan minimnya cerita-cerita atau kisah-kisah inspiratif yang bisa menjadi pelipur lara kala bersedih atau teman tersenyum kala galau, bahkan menjadi salah satu rujukan untuk mengatasi garing atau keringnya renungan atau khotbah para imam (yang sangat biblis tekstual) kepada umat beriman.

Sekalipun ini sebuah pelatihan, tapi hasil yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku tidaklah asal jadi, tidak murahan. Karena melalui proses editing dengan standar yang tinggi justru meningkat rasa percaya diri para penulis.

Buku yang diberi judul “Setia Pada Sebungkus Nasi” ini merupakan gabungan dua judul dari cerita pertama dan cerita terakhir. Cerita pertama berjudul Tetap Setia Pada Yang Tidak Sempurna menggambarkan cinta seorang suami pada orang istri yang cacat kakinya. Ternyata cinta itu tidak diukur semata-mata dari tampilan fisik. Seseorang yang sangat mencintai akan tetap berada dalam kesetiaan untuk merawat cintanya dengan bijaksana, meski harus melewati perjuangan agar bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Dalam ketulusan ia berusaha melayani orang yang dikasihi dengan penuh pengorbanan dan kasih sayang sehingga cinta itu tetap bertahan dalam kebersamaan dan penuh persahabatan hingga ajal menjemput.

Lalu cerita terakhir berjudul Sebungkus Nasi memberikan perspektif bahwa kesetiaan dan pengorbanan bisa ditunjukkan melalui hal sederhana dengan cara yang sederhana pula. Pemberian orang lain, yang seharusnya bisa dinikmati di tempat, justru dibungkus dan dibawa pulang untuk dinikmati bersama orang-orang terkasih.

Itulah hakikat kehidupan yang dijalani setiap orang yang selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi mereka yang dikasihinya. Siapapun kita bisa menjadi suami maupun ayah yang tidak tega menikmati makanan enak di luar rumah, tetapi membungkus dan membawa pulang untuk anak-anaknya. Cinta akan kehidupan membuat orang tidak egois, tetapi berusaha dan berkorban untuk mereka yang dikasihinya. Itulah esensi cerita-cerita ini dibuat dan dibagikan kepada pembaca. Penulis tidak membungkusnya untuk dirinya sendiri, tetapi menuliskan dan menerbitkannya untuk pembaca.

Kelima, Pelatihan Menulis Feature tentang Pawang Binatang di Kebun Binatang Gembira Loka Yogyakarta (bersambung edisi terakhir dan oleh-oleh dari TEPAS Kevikepan Kategorial KAS)

Spread the love