Oleh: Eliezer Mei Kriswanto, S.Th

Eko-Teologi memandang Allah tidak memiliki keberpihakan terhadap manusia, melainkan kepada seluruh ciptaannya. Dalam berbagai kritik, seperti yang diajukan oleh McFague, faktor yang menjadi pemicu dilakukannya eksploitasi secara masif terhadap alam adalah penggambaran manusia sebagai representasi Allah dalam suatu kontruksi monarkis ilahiah atas dunia. Hal ini dianggap berakar dari doktrin bahwa manusia adalah mahkota atau puncak dari penciptaan. Doktrin ini sendiri dilandaskan pada kesaksian Alkitab yang tersirat dalam ungkapan bahwa manusia diciptaakan menurut gambar dan rupa Allah.

Interpretasi yang tidak tepat atas pandangan tersebutlah yang melahirkan gagasan tentang antroposenterisme dalam relasi manusia dan alam. Gagasan ini yang menyebabkan manusia merasa memiliki superioritas terhadap alam dan menjadikan alam sepenuhnya sebagai objek bagi pemenuhan nafsu dan kebutuhan manusia. Manusia dipandang sebagai wakil Allah yang berkuasa atas alam dan memiliki hak untuk mengurus alam itu sendiri.

Dalam Ensiklik Laudato Si’ ditegaskan bahwa penciptaan manusia dalam rupa dan gambar Allah tidak boleh membuat manusia lupa ataupun abai bahwasanya setiap makhluk ciptaan memiliki fungsi-fungsinya secara spesifik. Seluruh bagian dari alam semesta merupakan bahasa cinta Allah, kasih sayang-Nya yang tidak terbatas pada makhluk ciptaan. Dalam pesan ini tentunya manusia tidak diperkenankan untuk merusak kasih Allah tersebut.

Selain itu, tudingan yang menyebut bahwa tradisi Yahudi dan khususnya Kristen sebagai inspirasi antroposentrisme dan pengrusakan alam harus diluruskan. Teks yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan dalam rupa dan gambar Allah diinterpretasikan dalam pola pikir barat (hegemoni-imperial barat) sehingga manusia dianggap berposisi sebagai subjek dan alam sebagai objeknya. Dengan kata lain, pengertian antroposentris tidaklah intrinsik dalam teks-teks Alkitab. Dalam perspektif  ekoteologi, Allah digambarkan layaknya ibu yang memiliki sifat kasih dan penuh cinta serta bersabahat tanpa pilih kasih kepada seluruh makhluk ciptaannya. Penciptaan manusia juga tidak ditujukan untuk melakukan memanipulasi, menguasai, dan memerintah, melainkan mengasihi dan bersahabat dengan alam dalam keberlindananya dalam ciptaan Allah. Karena itu, dalam perspektif ini, teks-teks Alkitab dibaca dalam suasana reflektif atas hubungan yang harmoni antara manusia dan alam dalam suatu keutuhan ciptaan yang Allah sudah ciptakan.

Kasus Pertambangan di Jomboran dalam Bingkai Perspektif Eko-Teologi

Masyarakat Yogyakarta khususnya di Desa Jomboran masih menghadapi persoalan yang secara aktual merupakan bentuk ancaman serius bagi kelestarian lingkungan. Persoalan bermula dari beroperasinya perusahaan SKS. Meski permasalahan di Jomboran lebih terartikulasi ke dalam isu konflik agraria dibanding isu ekologis, namun akar esensial penyebab konflik tidak berasal dari benturan relasi kepemilikan tanah, melainkan keresehan warga atas dampak buruk aktivitaas pertambangan terhadap kelestarian lingkungan. Permasalahan Jomboran bermula dari pengaduan warga kepada Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta mengenai adanya aktivitas penambangan yang diduga ilegal di sekitar lingkungannya. Namun, imbas dari dilakukannya pelaporan tersebut justru adalah dikriminalisasinya para pelapor, yaitu warga yang melapor. Tuduhan yang dilayangkan adalah kekerasan terhadap barang dan orang, penghasutan, dan berbagai upaya untuk menghalangi aktivitas pertambangan. Pada intinya, resistensi warga terhadap aktivitas penambangan ilegal didasarkan pada keresahan terhadap dampak buruk aktivitas pertambangan terhadap lingkungan.

https://www.tagar.id/warga-minggir-sleman-tolak-penambangan-pasir-sungai-progo

Keresahan warga tersebut dalam perspektif teologi memberikan gambaran tentang meningkatnya kesadaran warga terhadap krisis ekologi yang tengah berlangsung. Hal ini memberi penegasan bahwa Eko-Teologis merupakan sesuatu yang intrinsik dalam diri manusia mengingat keresahan tentang adanya potensi krisis ekologi dalam kasus Jomboran itu hadir secara spontan di antara warga. Teks Alkitab yang menjadi landasan wacana Eko-Teologi terdapat pada Kitab Kejadian  1:26: Dalam teks Alkitab (TB-LAI edisi-2) dituliskan dan berbunyi, “Berfirmanlah Allah, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan dilaut dan burung-burung diudara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata di bumi.”

   Pembacaan harfiah atas teks Alkitab akan menimbulkan kekeliruan tafsir dan kekeliruan laku yang fundamental, oleh karena itu penulis akan mendedah teks-teks (yang terpilih) dalam Alkitab, secara biblis dan filosofis. Apalagi ditambahkan dengan prasangka kultural yang berasal dari pola pikir barat, hal ini mengesankan bahwa teks tersebut di atas memberi legitimasi dan melanggengkan kekuasaan atas alam yang dilakukan oleh manusia. Manusia akan dipandang sebagai makhluk superior yang memandang alam sebagai benda mati yang dapat dieksploitasi tanpa konsekuensi. Cara pandang ini melandasi kesewenang-wenangan manusia atas alam dan tidak dapat dibenarkan. Bahkan model interpretasi semacam ini menjadi dasar dalam meligitimasi dan melanggengkan praktik kolonialisme barat di Indonesia. Demikianlah penulis akan menjelaskannya lebih lanjut, tepat seperti yang sudah dituliskan dan dipaparkan dalam paragraf dibawah ini.

Pemahaman yang sepenuhnya berbeda jika teks Kejadian 1 : 26 dibaca dalam bingkai perspektif Eko-Teologis, pesan yang terkandung dalam teks tersebut adalah bahwa manusia diciptakan oleh Allah melalui dialog Allah dengan Diri-Nya (lihat teks Kejadian 1: 1 kata “Elohim”, menggunakan kasus “plural” dalam teks Ibrani, dan juga pada teks Kej. 1: 26). Selanjutnya Allah membuat (asah) manusia menurut gambar dan rupa Allah (“Kita”). Kata “gambar dan rupa” yang merujuk pada figur Allah yaitu dalam bahasa Ibrani menggunakan kata, “tselem” dan “demuth” yang memiliki dua pengertian. Pertama, “tselem” yang bermakna “jiplakan (duplikat)”. Kata ini memberi penekanan pada keserupaan fisik dan sifat. Karena itu manusia secara mendasar adalah seakhlak, setabiat, dan juga sewatak dengan Allah (meliputi lahiriah dan batiniah). Kedua, demuth” yang berarti “keserupaan dalam rupa, perwujudan” (apa yang tampak).

Kedua kata tersebut, yaitu “tselem” dan “demuth” tidak dapat dipisahkan dan memiliki keterkaitan erat. Bahkan “demuth” menjadikan arti dari kata “tselem” menjadi lebih mendalam, sehingga manusia tidak hanya dimengerti sebagai makhluk yang memiliki kesegambaran dan keserupaan langsung dengan Allah, namun juga kesamaan sifat.

Dengan demikian, kehadiran manusia di bumi adalah sebagai representasi kehadiran Tuhan. Namun, hal itu tidak menjadikan manusia berkedudukan sebagai penguasa absolut, melainkan hanya menjalankan tugas dan tanggung jawab dalam ‘memerintah terhadap ikan yang ada di laut dan burung di udara dan segala binatang yang melata maupun yang merayap’.

Kata “memerintah” yang digunakan oleh TB-LAI edisi-2 diterjemahkan dari kata “radah” dalam Bahasa Ibrani. Penggunaan kata ini terkait dengan  dengan kalimat ‘sama seperti Allah memerintah’ segala ciptaannya sehingga konsekuensinya kata “memerintah” tidak identik dengan mendominasi alam dan ciptaan lainnya, melainkan persekutuan manusia dengan Allah yang mana manusia menjadi penatalayanan ekologi. Selain itu keterkaitan fungsional antara manusia dengan Allah tersebut bertujuan untuk menjaga kelestarian ciptaan-Nya. 

Karena itu teks yang menyebut kesegambaran dan keserupaan manusia dengan Allah yang dikombinasikan dengan interpretasi kata “radah” melahirkan makna bahwa kesegambaran dan keserupaan manusia dengan Allah merupakan bentuk persektuan dan keterpautan manusia dengan Allah dengan tujuan menjaga kelestarian ciptaan-Nya. Dengan demikian teks Kejadian 1: 26 tidak mengarah pada antroposentrisme dan memberi legitimasi serta melanggengkan bagi manusia dalam praktik mengeksploitasi alam. Justru teks Kejadian 1:26 mengingatkan manusia untuk berlaku menjaga kelestarian Ciptaan Allah.

Selanjutnya dalam teks Kejadian 1 Ayat 27 (TB-LAI edisi-2) tertuliskan, “Maka Allah menciptakaan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Teks ini pun menegaskan penggunaan kata  “serupa dan segambar dengan Allah” atau  “tselem” dan “demuth” dalam Bahasa Ibrani. Munculnya kata-kata ini dalam Alkitab menunjukkan arti penting dari teks tersebut dan hendak menegaskan makna tertentu pada pembacanya. Dalam kalimat berikutnya dinyatakan “Allah menciptakan Adam dan Hawa” yang maknanya merupakan penegasan atas makna dari teks Kejadian 1 Ayat 26 di atas.

   Sedangkan teks pada Kejadian 1 Ayat 28 (TB-LAI edisi-2) menyatakan bahwa “Allah memberkati mereka, dan berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah. Penuhilah dan taklukkanlah bumi. Berkuasalah atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara dan atas segala binatang melata di bumi”. Teks ini menggambarkan bahwa Allah memberkati manusia dengan kemampuan berkembangbiak melalui kawin mawin antara laki-laki dan perempuan. Berkat berikutnya yang diterima adalah penugasan untuk ‘menaklukan dan memerintah atas seluruh binatang yang ada di bumi’. Bagian ini merupakan pengulangan dari Ayat 26. Namun dalam Ayat 28, ada penambahan kata “menaklukan” atau “wekivsyuah” dalam Bahasa Ibrani. 

Meski demikian kata “wekivsyuah” tidak mengacu pada dominasi manusia terhadap ciptaan lain, melainkan pada tugas yang diberikan Allah kepada manusia untuk mewakili Allah memelihara dan melestarikan kehidupan yang ada. Konteks pemberian tugas kepada manusia merupakan penekanan atas tugas penatalayanan terhadap bumi dan segala ciptaan yang lain. Dengan demikian teks Kejadian 1:26-28 tidak memberi inspirasi pada perspektif antroposentrisme yang menjadikan manusia lebih tinggi dari ciptaan lainnya. Satu-satunya keistimewaan manusia adalah pemberian berkat Allah berupa tugas untuk menjadi bagian dari penatalayanan dalam memelihara dan melestarikan alam dan segala isinya yang ada di alam (bumi).

Konflik yang berlangsung di Jomboran tidak dapat direduksi sebatas pada masalah konflik agrarian. Keresahan warga Jomboran adalah cerminan meningkatnya kesadaran warga terhadap krisis ekologi yang tengah berlangsung. Penolakan atas aktivitas pertambangan dalam tinjauan Eko-Teologi merupakan bentuk pelaksanaan tugas dalam memelihara dan menjaga keberlangsungan lingkungan. Dengan kata lain, sebenarnya protes tersebut merupakan ekspresi tugas Ketuhanan yang diwujudkan dalam tindakan oleh para warga. Kesadaran itu menunjukkan bahwa teks Kejadian 1:26-28 sebenarnya merupakan sesuatu yang instingtif dalam tindakan manusia yang secara alamiah sadar menjaga lingkungannya dari kerusakan. Warga bersama aktivis gerakan sosial yang turut mengadvokasi permasalahan di Jomboran telah melakukan serangkaian aksi konkrit. Kampanye masif telah dikerjakan untuk memobilisasi dukungan publik. Selain itu, usaha mengartikulasikan persoalan ekologis pada kasus-kasus lain sebagai suatu masalah bersama pun telah dilakukan. Hasilnya permasalahan di Jomboran telah menjadi isu yang diperbincangkan oleh publik secara luas. Hal ini berguna dalam mengeskalasi peningkatan kesadaran ekologis di kalangan masyarakat.

Langkah nyata yang dapat pula dilakukan adalah menuntut seluruh pihak, dari kalangan penambang hingga pemerintah untuk melakukan evaluasi aktivitas pertambangan tersebut. Analisis mengenai dampak lingkungan sudah seharusnya dilakukan secara cermat dan melibatkan seluruh pihak. tentunya tuntutan semacam ini akan sulit direalisasika. Karena itu untuk memastikan hal tersebut dapat diwujudkan, maka diperlukan tekanan kuat serta pengawasan yang ketat dari publik. Langkah ini dianjurkan karena pilihan lain seperti relokasi atau ganti rugi saja tidak menyelesaikan masalah fundamental dari kasus ini, yaitu potensi kerusakan lingkungan. Bila terbukti dalam analisis dampak lingkungan yang dilakukan tim independen dan diawasi warga serta publik luas menghasilkan kesimpulan bahwa aktivitas pertambangan itu berpotensi merusak lingkungan, maka pemerintah dan aparat negara sudah seharusnya menghentikan segala aktivitas pertambangan tersebut.

https://jogja.suara.com/read/2020/10/06/194500/warga-jomboran-tolak-penambangan-pasir-di-sungai-progo-pakai-alat-berat?page=all

Sebagai bahan refleksi bersama, pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah sebagai wakil-Nya di bumi, sedangkan bumi adalah tempat tinggal bersama (oikos) sehingga kehadiran manusia tidak dapat dilepaskan dari makhluk yang bertempat tinggal di bumi. Berdasarkan peranannya sebagai wakil Allah tersebut maka manusia (antroposen) harus dan untuk menjalankan laku mengupayakan menjaga dan melestarikan bumi yang didalamnya tinggal bersama makhluk ciptaan lainnya. Dengan demikian, seluruh sikap dan tindakan dalam mengkritisi aktivitas pertambangan di Jomboran dapat dipahami sebagai bentuk ekspresi naluriah manusia dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai representasi Allah di muka bumi dalam merawat alam (bumi) yang adalah tempat tinggal bersama (oikos).

Spread the love